Dapur, dalam bahasa Jawa disebut "pawon", mengandung dua pengertian: pertama, bangunan rumah yang khusus disediakan untuk kegiatan masak-memasak dan; kedua, dapat diartikan tungku. Kata pawon berasal dari kata dasar "awu" yang berarti abu karena dapur atau pawon memang tempat abu (bekas pembakaran kayu/arang di tungku). Pawon merupakan representasi tata kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, baik dari tata letaknya, fungsinya, dan isinya. Dapur pada dasarnya adalah ruang tertua sebuah rumah. Dapur harus ada sebelum orang butuh ruang khusus untuk tidur, mandi, menerima tamu, dan sebagainya. Sebelum ruang lain ada, sudah ada perapian, tempat orang berkumpul untuk kehangatan dan terangnya, untuk berbagi obrolan dan membuat makanan.
Kompleksitas fungsi dapur itu berpusat pada perapiannya. Api merupakan pencipta aktivitas. Api dengan terang dan kehangatannya menggerakkan orang untuk berkumpul di sekitarnya. Api juga membagi-bagi kegiatan orang berdasarkan kadar terang gelapnya. Api menciptakan hierarki, hanya orang-orang penting yang berada di sekitarnya, sedangkan orang-orang biasa berada jauh darinya. Secara simbolik, api adalah lambang kekuasaan. Dalam budaya Jawa, penguasa ruang istimewa itu adalah ibu. Adalah ibu yang terampil menguasai api, menjinakkan api dengan mengatur, memperbesar atau memperkecil nyalanya. Adalah ibu yang menjadi pusat dari seluruh aktivitas yang berlangsung di rumah.
Oleh karena itu, rumah sering diiidentikkan sebagai ranah perempuan, karena rumah adalah perluasan dari pusat kekuasaan ibu, yaitu perapian dan dapur. Di dapur, pusatnya rumah, api selalu tersedia. Demikian pula di istana Jawa, selalu ada api yang tidak pernah padam, sebagai uatu simbol kuno tentang asal mula rumah dan simbol penggerak kehidupan keluarga. Demikianlah pawon identik dengan seorang perempuan atau wadon, sebab orang Jawa mengidentifikasikan bahwa wadon (perempuan) salah satu tugasnya adalah menyediakan makanan untuk keluarga.
Selain itu, pawon juga bisa menjadi area penting bagi sosial. Ketika empunya rumah mempunyai hajatan, maka para tetangga akan berkumpul (rewang) untuk memasak. Interaksi komunikatif dengan lebih dari satu orang, berbagai pembicaraan meskipun hanya sekedar basa-basi, menjadi warna tersendiri bagi kaum wanita (wadon). Di pawon itulah terjadi komunikasi aktif, saat kaum wanita (wadon) sedang rewang membuat makanan untuk hajatan. Interaksi sosial tersebut biasanya diselingi canda, tawa, dan keseriusan. Sebuah karakter kehidupan kaum wanita di pedesaan, guyub rukun, tentrem raharjo. Meskipun bau sangit dari pawonan, mereka tak rendah diri, namun justru merasakan kebersamaan. Senyum, tawa, senda gurau, bahkan haru mendengarkan cerita sesama perewang hajatan merupakan warna-warni kehidupan di pawon.
Lebih lanjut lagi, menurut orang Jawa, makan diartikan menerima berkah dari Dewi Sri yang dianggap sebagai sumber rezeki. Penghormatan terhadap Dewi Sri oleh orang Jawa bukan semata-mata diwujudkan dalam makan dan kegiatan memasak saja, tetapi juga melambangkan keseriusan orang Jawa dalam mengolah lahan pertanian sejak awal sampai pascapanen.
[Dikutip dari berbagai sumber]
***********
Pusdiklat Jina Putra Tushitavijaya kembali menancapkan sebuah tonggak sejarah penting pada 22 Juli 2017. Api pawon Pusdiklat pertama kali dinyalakan pada hari yang penuh berkah ini. Ritual penyalaan api pawon ini dilakukan oleh tiga perempuan. Sejak hari ini dan selama-lamanya, api akan dijaga akan terus nyala tak pernah padam.
Sebagai pertanda baik, api ini dinyalakan dengan korek api yang diberikan sendiri oleh Guru Dagpo Rinpoche. Adapun termasuk ke dalam bagian dari ritual ini juga adalah pemujaan kepada Dewi Sri yang merupakan dewi pertanian, dewi padi dan sawah, serta dewi kesuburan. Dengan menyalanya api pawon ini, semakin komplitlah Pusdiklat Jina Putra Tushitavijaya sebagai sebuah institusi yang menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan, kebudayaan, dan filosofi hidup mendalam.