“Bentuk kehidupan seperti apa yang dapat mengatasi penderitaan samsara?
Tentu saja kehidupan sebagai manusia, baik dengan tubuh pria atau wanita, atau dengan menjadi umat awam maupun biksu. Meski demikian, tak perlu dijelaskan lagi bahwa di antara semua ini, bentuk terbaik adalah kehidupan sebagai biksu.”
- Guru Dagpo Rinpoche
Mencari kebahagiaan sejati
Semua makhluk pada dasarnya punya keinginan yang sama, yaitu bebas dari penderitaan dan senantiasa berbahagia. Namun, hal pertama yang diajarkan Sang Buddha setelah meraih penerangan sempurna justru adalah bahwa hidup ini hakikatnya menderita. Menderita di sini bukan berarti kita merasakan sakit terus-menerus, tapi karena sekalipun kita mengalami momen yang menyenangkan, momen itu akan berakhir dan kita harus merasakan kehilangan.
Kita juga menghabiskan waktu hidup kita mengejar harta, hubungan, reputasi, dan berbagai hal lain yang pada akhirnya akan kita tinggalkan saat kita mati. Kita cenderung hanya mengikuti kotoran batin yang sudah menumpuk sejak waktu tak bermula, tanpa henti menciptakan sebab berulangnya siklus lahir, tua, sakit, dan mati.
Saat ini kita terlahir sebagai manusia dengan kebebasan dan keberuntungan. Kita bisa mengumpulkan karma baik sebanyak-banyaknya untuk kelahiran di alam yang bahagia di kehidupan mendatang. Namun, kehidupan di alam bahagia pun memiliki beragam jenis penderitaan tersendiri. Bahkan para dewa dihantui oleh kelahiran kembali di neraka karena terus menghabiskan karma baik tanpa bisa membuat yang baru.
Demikianlah samsara, siklus melelahkan yang dijalani semua makhluk di dunia. Tak ada kebahagiaan sejati di sana.
Satu-satunya cara untuk membebaskan diri dari penderitaan samsara yang seolah tiada akhir adalah mencabut akarnya, yaitu mengakhiri kegelapan batin yang selama ini membuat kita gagal melihat fenomena sebagaimana adanya. Itulah satu-satunya cara kita bisa meraih keadaan yang bisa dikatakan sebagai “kebahagiaan sejati”.
Fokus berlatih dalam jalan menuju pembebasan
Perjuangan untuk mencabut akar samsara tidaklah mudah. Selain karena kita sudah memupuki akar tersebut dalam setiap kelahiran kita sejak waktu yang tak bermula, segala aspek kehidupan kita saat ini juga dirancang untuk mengikuti kehendaknya. Pemenuhan kebutuhan material sebagai gaya hidup sekaligus tujuan hidup telah menjadi begitu lumrah sehingga kita cenderung mengabaikan batin. Padahal, akar samsara terletak pada batin yang gelap sehingga batinlah yang seharusnya diolah jika kita benar-benar menginginkan kebahagiaan sejati.
Sang Buddha tentunya tidak hanya mengajarkan tentang penderitaan dan sebabnya, tapi juga jalan untuk menghentikannya, yaitu melalui ketiga latihan: Sila, Samadhi, dan Prajna. Tidak berhenti di situ, Beliau bersama murid-murid-Nya membentuk Sangha monastik, komunitas yang memungkinkan kita untuk keluar dari kerangka hidup materialistis dan mencurahkan seluruh fokus kita pada ketiga latihan tersebut. Kehidupan sebagai anggota Sangha monastik yang melepas kehidupan berumah tangga dipuji sebagai bentuk kehidupan terbaik untuk mencapai kemahatahuan melalui Paramitayana dan Mantrayana.
Sila yang melindungi
“Prinsipku, jadi biksu itu harus dilalui dengan hati gembira. Sila-sila yang diambil seorang biksu bukanlah bertujuan untuk mengikat dirinya. Kalau mau diibaratkan, sila adalah semacam pagar yang menjaga kita. Kita boleh berbuat sesuka hati di dalam batas pagar ini, tapi jangan sekali-kali menerabas keluar darinya. Sila itu bukanlah rantai yang mengikat kita dengan kuat dan mencegah kita untuk bertingkah laku selayaknya manusia biasa.”
-Y.M. Biksu Bhadra Ruci
Mempraktikkan Ikrar atau Sila Pratimoksha merupakan pembeda utama antara seorang anggota Sangha monastik dan praktisi awam. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Sila juga merupakan langkah pertama dari tiga latihan yang perlu dijalani untuk mengakhiri samsara. Fungsinya adalah melindungi praktisi agar tidak melakukan tindakan yang menyakiti dirinya sendiri ataupun makhluk lain serta melakukan lebih banyak kebajikan yang kemudian menjadi bekal untuk mengarungi samsara.
Dalam Subahu-pariprccha-tantra, Sila membantu kita berlatih mengendalikan segala bentuk perbuatan buruk. Selain itu, dikatakan pula bahwa Sila merupakan akar dari berbagai kualitas baik seperti virya, kesabaran, keyakinan terhadap Sang Penakluk, bodhicitta, praktik Mantrayana, dan lenyapnya kemalasan.
Dari segi bobot karma, orang yang menjaga lebih banyak sila menghasilkan karma yang lebih besar dibanding orang biasa. Seorang biksu yang menjaga lebih dari 200 Sila tentunya menghasilkan kebajikan lebih besar dibanding perumah tangga yang hanya menjaga 5-8 Sila. Mengingat betapa besarnya kebajikan yang dibutuhkan untuk menjalankan latihan-latihan berikutnya, kekuatan karma baik yang luar biasa besar ini tentunya amat dibutuhkan bagi seorang anggota Sangha monastik yang beraspirasi mengakhiri penderitaan samsara sesegera mungkin.
Sebuah pilihan hidup
“Biksu bukan profesi! Bukan untuk cari makan, cari nyaman, cari tenar! Karena jika demikian halnya, sungguh seorang tersebut pantas sebagai seorang perumah tangga.” -Y.M. Biksu Bhadra Ruci
Kebanyakan orang memandang profesi sebagai cara untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Ada juga yang menjalani profesinya demi mendaki tangga karir dan meraih prestasi yang mengundang decak kagum banyak orang.
Status “rohaniwan” yang disematkan pada seorang biksu memang seolah-olah merupakan sebuah profesi. Parahnya lagi, tak sedikit yang memandang menjadi biksu merupakan “pilihan terakhir” bagi orang yang tidak menemukan profesi atau peran yang cocok dalam masyarakat.
Kenyataannya, menjadi biksu lebih dari semua itu. Menjadi anggota Sangha monastik sesungguhnya adalah jalan terbaik untuk memberi makna pada kehidupan kita sebagai manusia. Alih-alih mengejar ketenaran atau menafkahi segelintir orang, bergabung dengan Sangha monastik berarti mengambil komitmen untuk berjuang melatih batin hingga terbebas dari samsara dan meraih penerangan sempurna.
Sangha sebagai komunitas
Sungguh sulit hidup seorang diri, apalagi jika kehidupan yang dijalani itu berlawanan dengan arus kehidupan sebagian besar manusia. Karena itulah Sang Buddha membentuk Sangha monastik, agar orang-orang yang telah memutuskan untuk menempuh jalan luhur ini dapat saling mengingatkan di kala lengah dan saling mendukung ketika menghadapi kesulitan.
Lebih jauh lagi, Sang Buddha mempercayakan keseluruhan ajarannya untuk dijaga dan dilestarikan oleh Sangha monastik. Buddhadharma bisa bertahan sejak lebih dari 2500 tahun lalu hingga sekarang berkat adanya institusi Sangha monastik yang menjaga tradisi serta dengan mencurahkan seluruh waktu mereka untuk mempelajari, merenungkan, dan memeditasikan Dharma. Mereka tidak hanya menjaga kitab-kitab, tapi juga merealisasikan Dharma di batin kita dan mengajarkannya kepada banyak orang sehingga aspek tekstual maupun aspek realisasi Buddhadharma tetap lest