Pada 21 September kemarin kita memperingati Hari Perdamaian Dunia. Hari ini ditetapkan pada 2001 oleh PBB yang dimaksudkan untuk momentum mendorong penghentian segala jenis permusuhan dan kekerasan global yang masih terjadi di berbagai belahan dunia. Setidaknya, dalam satu hari saja, kita menghormati hari ini dengan menghentikan segala jenis peperangan.
Sumber gambar: Freepik
Perdamaian dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara pada dasarnya masihlah baru bagi umat manusia. Bahkan usia perdamaian global ini belum mencapai satu abad semenjak perang dunia kedua. Kita pun masih bisa melihat berbagai konflik antar negara yang masih terjadi saat ini seperti konflik Rusia dan Ukraina, Israel dan Palestina, dan lain sebagainnya. Tidak hanya di tingkat negara, di tingkat masyarakat pun kita juga masih sering melihat adanya gesekan horizontal antar suku, agama, hingga kelas sosial. Di Indonesia sendiri, berbagai kekerasan, terorisme, hingga gerakan separatis masih marak terjadi hingga hari ini. Bukan tidak mungkin jika manusia akan jatuh kembali ke dalam era yang penuh perang dan konflik yang lebih luas.
Dalam ajaran Buddhisme, semua ketidakdamaian dan konflik di atas merupakan akibat dari adanya sifat mementingkan diri sendiri, kebencian terhadap perbedaan, dan kebodohan dalam menyadari tujuan besar bersama yakni sama-sama ingin bahagia. Tanpa menghilangkan tiga klesha akar ini, tidak hanya manusia, bahkan sekelas dewa dan asura pun juga masih akan terus berperang dan berkonflik.
Ini sebabnya, satu-satunya jalan untuk menciptakan kondisi damai adalah dengan mengajak semua makhluk untuk mencapai pencerahan. Ini adalah solusi jangka panjang yang ultimate, yang ditawarkan oleh Buddhisme Mahayana yang merupakan kendaraan besar agar semua makhluk bersama-sama mencapai kebahagiaan dan demikian kedamaian sejati akan terwujud.
Tanpa adanya semangat untuk mencapai pencerahan secara bersama, perdamaian hanya akan ada di nirwana. Selamanya samsara akan penuh dengan penderitaan. Sebagai Buddhis, yang diajarkan untuk tidak bersifat egois, tentu mana bisa kita meninggalkan makhluk lain menderita? Semangat Mahayana menjadi visi mulia yang menjadi konsekuensi logis jika kita benar-benar mempraktikkan kebijaksanaan dan welas asih dari ajaran Buddha.
Namun, apa yang bisa ditawarkan oleh Buddhisme untuk menciptakan perdamaian dunia saat ini?
Selain menawarkan semangat Mahayana yang ingin membebaskan semua makhluk dari berbagai penderitaan termasuk konflik kekerasaan, Buddhisme senantiasa mendorong akan pentingnya pengendalian diri dan berbuat baik kepada siapa saja tanpa standar ganda. Tanpa adanya dorongan ini, tiadanya pengendalian diri hanya akan membuat kita merespon keadaan dengan cara yang buruk yang hasilnya malah akan membuat kita semakin menderita. Selain itu, kebaikan yang standar ganda hanya akan menyebabkan kecemburuan pihak lain dan ketidakadilan akan semakin merajalela yang akhirnya tidak ada satu pun orang yang bisa mencapai perdamaian bahkan dalam dirinya sendiri.
Nilai-nilai Buddhis yang menolong semua makhluk tanpa kecuali ini sudah seharusnya ditanamkan sejak kecil. Ajaran yang bermental ‘kami vs mereka’ sudah seharusnya disingkirkan untuk meminimalisir konflik. Jika kita merasa bahwa tindakan egois itu buruk, maka tindakan egois kolektif sudah seharusnya dipandang sebagai tindakan yang lebih buruk lagi. Oleh karena itu, ajaran dan pikiran yang mengharapkan dan mendoakan agar semua makhluk bahagia, semua tanpa kecuali, harus ditanamkan agar meminimalisir konflik kelompok.
Ajaran Buddha tidak mengajarkan bahwa hanya kelompok Buddhis saja yang berhak bahagia, namun semua kelompok, semua makhluk, tanpa kecuali. Dan kebahagiaan sejati, perdamaian sejati, tidak akan tercipta tanpa kebahagiaan dan kedamaian semua makhluk. Usaha untuk mewujudkan hal ini adalah langkah yang harus diemban setahap demi setahap, segenerasi demi generasi, hingga setidaknya semua konflik dan penderitaan dapat diminimalisir agar semakin dekat kepada tujuan utopis ini.