Nasihat Untuk Sangha Biara Indonesia Tusita Vivaranacarana Vijayasraya

Nasihat Untuk Sangha


Tentang menjalani sebuah pilihan

Adalah satu kenyataan bahwa sampai sekarang mutu pendidikan kebiksuan di Indonesia masih sangat rendah. Belum ada program pendidikan yang terstruktur dan memadai untuk mendidik seseorang dalam menempuh jalan kebiksuan dengan baik… Oleh karenanya, orang-orang yang ingin masuk ke dunia perbiksuan biasanya hanya bermodal semangat juang…

…Biksu-biksu muda kini muncul dengan seperangkat gadget canggih... Mereka kini tampil dengan laptop, blackberry, iphone, ipod, ipad, dan pot-pet pot-pet lainnya, seakan-akan untuk menunjukkan kesan intelektualitas. Nah, mengenai kesan-kesan yang hanya penampakan luar ini, aku punya contoh bagus, yakni tentang orang-orang yang vege (vegetarian). Aku tak pernah bilang bahwa vege itu tak baik. Baik sekali malah. Tapi kan kita harus paham dulu, apa sebenarnya motivasi mereka melakukan vege itu? 

Sama halnya dengan Pabbaja. Esensi dari Pabbaja itu bukan hanya pakai jubah lalu kepala gundul. Aku tidak butuh kepala gundul. Buddha tidak butuh orang-orang berkepala gundul. Pabbaja itu hanya satu media saja – media refleksi diri sendiri. Pabbaja satu tahun belum tentu setara dengan dikurung dalam kamar dan bermeditasi selama seminggu. Yang diutamakan adalah perenungan.

Ada yang bilang kalau Pabbaja dengan Bhante Bhadra Ruci itu berat sekali. Lebih enak dengan Bhante-Bhante yang lain. Lha, kalau mau enak, ya tak usah ikut Pabbaja. Kenapa tak sekalian saja cukur gundul lalu pergi liburan ke Bali?

Ada juga keluhan kalau aku ini terlalu galak dalam membimbing. Sedikit-sedikit main pukul… Lantas kenapa harus dipukul? Kenapa tidak dinasihati saja, seperti Bhante lain yang terkenal karena kelembutan akhlaknya? Begini logikanya. Ketika peserta Pabbaja aku suruh untuk bermeditasi, pada satu titik, mereka pasti akan mengalami jalan buntu. Kebuntuan ini tidak dapat dielakkan. Perenungan yang sudah dibawa terlalu jauh pada akhirnya akan membentur tembok. Nah, percaya atau tidak, aku memukul untuk memecah tembok-tembok penghalang ini. Dari tampilan luarnya, orang-orang tentu tak akan bisa paham.

Aku ingin orang-orang tahu kalau Pabbaja dengan Bhante Bhadra Ruci itu memang beginilah adanya. 

Mulanya, para peserta akan digiring untuk keluar dari samsara. Ini baru tahap motivasi menengah. Setelah itu, mereka akan aku paksa berhadapan dengan egonya masing-masing. Di sini mereka akan melihat betapa kurang ajarnya diri mereka, betapa egoisnya mereka selama ini. Di tahap inilah “siksaan” yang sesungguhnya akan terjadi. Bagiku, inilah yang paling penting. Aku tak butuh jubah-jubah yang dililit rapi dan kepala-kepala yang gundul. Tampilan luar yang seperti itu tak penting bagiku.

Di India, pelajaran Vinaya baru akan dipelajari di tingkat atas. Sebelum itu, kita dituntut terlebih dulu untuk mempelajari kerangka berpikir filosofis. Di Indonesia, menurutku, pelajaran Vinaya ini seharusnya jadi prioritas utama bagi para biksu. Biksu-biksu di Indonesia butuh Vinaya. Mereka butuh peraturan-peraturan untuk mendisiplinkan diri. Biksu-biksu di Indonesia itu terlalu kaku. Mereka sepertinya tidak tahu bagaimana cara menikmati hidup ini. Seakan-akan, jika seseorang menjadi biksu, maka dia juga telah memilih untuk melepaskan kegembiraan dari hidupnya. Seolah-olah biksu dan kegembiraan adalah dua kutub yang saling berlawanan dan tak akan pernah bisa dipersatukan.

Prinsipku, jadi biksu itu harus dilalui dengan hati gembira. Sila-sila yang diambil seorang biksu bukanlah bertujuan untuk mengikat dirinya. Kalau mau diibaratkan, sila adalah semacam pagar yang menjaga kita. Kita boleh berbuat sesuka hati di dalam batas pagar ini, tapi jangan sekali-kali menerabas keluar darinya. Sila itu bukanlah rantai yang mengikat kita dengan kuat dan mencegah kita untuk bertingkah laku selayaknya manusia biasa. Oleh karenanya, Vinaya ini menjadi kebutuhan yang pokok sekali menurutku. Dasar-dasar filosofis seperti Prajna Paramita dan Abhidharma boleh menyusul kemudian setelah itu. Bukannya aku merasa sok tahu segala-gala atau merasa menjadi seorang revolusioner, tapi memang kondisi di Indonesia itu sama sekali berbeda dengan kondisi di India.

Kita semua harus ingat bahwa dalam berpraktik Dharma, bukan kesan-kesan luar yang harus kita utamakan. Ingat kisah Geshe Ben, renungkan kisah Naropa, selami kisah Marpa Sang Penerjemah. Dalam berpraktek itu, adalah hati dan cuma hati inilah yang paling penting.

Tentang menjadi seorang biksu

Mengikuti upacara penahbisan penuh biksu dan menjadi seorang biksu, adalah dua hal yang berbeda. Dalam hal ini yang saya maksud adalah mengikuti upacara penahbisan biksu tak otomatis menjadikannya seorang biksu sebenarnya, biksu autentik. Dengan kata lain seorang menjadi biksu bukan dikarenakan seorang telah menjalani ritual penahbisan dari awal hingga selesai, melainkan seorang dengan kualitas tertentu yang mengikatkan diri pada suatu bentuk latihan spiritual.

Biksu bukan profesi! Bukan untuk cari makan, cari nyaman, cari tenar! Karena jika demikian halnya, sungguh seorang tersebut pantas sebagai seorang perumah tangga. Lebih lanjut, jika keseluruhan hidupnya adalah untuk mengejar pencapaian duniawi dari untung-rugi, ketenaran, kenikmatan, dan sebagainya,  orang tersebut adalah non-Buddhis bahkan non-spiritual. Toh, praktiknya dharma duniawi. Bagi mereka yang terdorong untuk menjadi seorang biksu termotivasi dengan pemikiran semacam yang tadi dijelaskan, saya himbau urungkan niat kalian, karena sungguh nestapa ‘makan uang umat’, tanggungan utang sangat berat untuk hidup berikutnya.  Di sisi lain, bagi mereka yang beraspirasi meraih kebahagiaan diri sendiri ataupun mahkluk lain bertekad untuk mengalihkan pemikiran mereka dari duniawi, bersedia untuk melatih diri untuk penyempurnaan batin; maka, bagi merekalah latihan sebagai biksu akan menghasilkan panen kualitas penolakan samsara, dan berbagai kualitas baik lainnya.

Namun, jangan berpikir seorang yang menjadi biksu haruslah orang (yang sudah) suci; Justru kebiksuan adalah lebih relevan bagi mereka yang jauh dari kesucian, namun setidaknya mau melatih gaya hidup monastik. Sebuah kemauan sebagai awal dan akar, pendukung lain bermunculan setelahnya. Lebih lanjut, kebiksuan adalah sepenuhnya logis dan psikologis, bukan mistis; berpikir kalau kita tidaklah sempurna dalam latihan kita lalu seketika pintu neraka terbuka berkobar di bawah telapak kaki kita adalah berlebihan. Kata kuncinya adalah berupaya dengan tulus tuk mengembangkan batin kita.

Bhadra Ruci, Biksu
Kepala Biara


Share :