Tradisi Gelug dipelopori oleh Je Tsongkhapa Losang Drakpa, cendekiawan, meditator, dan filsuf abad XIV yang mereformasi Buddhadharma di Tibet. Beliau dikenal berkat aktivitas agungnya dalam menegakkan Vinaya (disiplin monastik), mengedepankan studi mendalam terhadap filsafat Buddhis, serta mereformasi praktik Tantra sesuai dengan Vinaya. Beliau juga menyusun banyak karya yang menyatukan Sutra dan Tantra, penalaran analitis, dan praktik yoga.
Je Tsongkhapa, Pelopor Tradisi Gelug, Penggubah Lamrim Chenmo (Risalah Agung Tahapan Jalan Menuju Pencerahan)
Titik awal berdirinya Tradisi Gelug dimulai dari pendirian Biara Ganden, biara universitas yang mempelajari Sutra dan Tantra, oleh Je Tsongkhapa. Dengan Tradisi Kadam yang dipelopori oleh Guru Atisha Dipamkara Srijnana sebagai basis, Tradisi Gelug berkembang menjadi salah satu tradisi monastik utama di Tibet yang mengedepankan kedisiplinan dan studi mendalam.
Guru Atisha Dipamkara Srijnana, Penggubah Bodhipathapradipa (Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan)
Seorang praktisi Gelug seyogyanya melakukan pembelajaran menyeluruh dari mendengarkan pengajaran Dharma, menekuni kitab-kitab, dan debat dialektika, kemudian merenungkan ajaran tersebut guna mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, lalu memeditasikan hasil perenungan tersebut hingga benar-benar meresap ke dalam batin. Pembelajaran mendalam terhadap berbagai Sutra, terutama seputar 5 risalah agung filsafat Buddhis dan kitab-kitab Lamrim, juga amat ditekankan dan menjadi basis bagi praktik Tantra. Ini semua tentunya dilakukan dengan bertumpu pada seorang guru spiritual.
Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dari Sriwijaya, Pemegang Instruksi Lengkap Bodhicitta
Lamrim atau Tahapan Jalan Menuju Pencerahan yang bermula dari Guru Atisha merupakan pegangan utama praktisi Gelug. Hal ini juga menjadi kaitan erat antara Tradisi Gelug dengan Buddhadharma Nusantara. Banyak sekali praktik-praktik Buddhis Nusantara yang diajarkan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti kepada Guru Atisha seperti praktik menukar diri dengan makhluk lain atau “Terima Kasih” (B. Tibet: Tong Len) dan 6 Praktik Pendahuluan dibawa ke Tibet, diwariskan turun-temurun oleh praktisi Kadam dan Gelug, hingga bisa kembali ke Indonesia melalui Sangha KCI dan Biara Indonesia Tusita Vivaranacarana Vijayasraya.