Kata Sambutan Y.M. Lobsang Oser Ketika Geshe Tongkor & Peringatan 10 Tahun Debat Filosofis

2023-08-15

Kata Sambutan Y.M. Lobsang Oser Ketika Geshe Tongkor & Peringatan 10 Tahun Debat Filosofis
Kata Sambutan Y.M. Lobsang Oser Ketika Geshe Tongkor & Peringatan 10 Tahun Debat Filosofis

Namo Sanghyang Adi Buddhaya, Namo Buddhaya.

Hari ini adalah hari yang penting dalam sejarah agama Buddha Indonesia. Jadi bukan saja penting bagi KCI, tapi penting bagi agama Buddha Indonesia. Ada banyak hal yang perlu saya sampaikan, tapi saya rasa singkat saja karena hal tersebut agak panjang. 

Hari ini Gen Palbar jadi Geshe, sebenarnya sudah tahun lalu ya, dua tahun yang lalu. Jadi ini hanya perayaannya dan juga sekaligus perayaan 10 tahun kelas debat filsafat itu dimulai sejak 19 Juni 2013. Saya kalau tidak diingatkan juga tidak sadar kalau sudah 10 tahun. Jadi ada dua peringatan, perayaan Gen Palbar jadi Geshe dan 10 tahun kelas debat filsafat. Dua dijadikan satu di hari yang baik, yaitu Sangha baru saja memasuki Vassa.

Ini tonggak penting bagi agama Buddha Indonesia. Kita tahu Indonesia adalah negara  Buddhis. Di zaman dulu, Sutra Paramita itu dipelajari di mana saja di tanah ini. Bahkan negara ini membuat seorang Guru besar datang demi untuk belajar di sini. Jadi negara ini membuat seorang guru besar India yang sudah pintar jauh-jauh datang ke sini. Sebenarnya bukan hanya Dharmakirti yang agung, Indonesia juga punya Guru-Guru besar yang menyebarkan Yoga Tantra di Korea dan Jepang dan beberapa Guru-Guru besar dari Indonesia yang menyebar.

Kemudian, setelah agama Buddha dihilangkan di negara ini, tahun 1953, agama Buddha itu kembali ke Indonesia oleh Bhante Ashin. Setelah Beliau ditahbiskan biksu dan pulang ke Indonesia dari Bangkok, saat itu agama Buddha terus berkembang. Tetapi ketika saya masih sekolah dulu kami merasakan sulitnya mengakses Buddhadharma, tapi sekarang tidak, sudah mudah. Maka pelan-pelan agama Buddha ini kembali.

Buddhis ini sudah mendarah daging di Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari itu masih banyak tersisa dan kita bisa jumpai. Bukan saja bangunan, tapi perilaku, kata-kata, dan sikap Buddhis itu kita jumpai dalam sehari-hari. Esensinya tidak hilang sepenuhnya maka dia bisa tumbuh kembali. Jadi ibarat tanaman itu kalau dipotong akarnya masih ada, umbinya masih ada, ada hujan, maka bibit bisa tumbuh.

Sekarang adalah agama Buddha 2.0, Agama Buddha Indonesia 2.0 tumbuh. Kita bisa melihat Buddhis, biksu di manapun. Tetapi itu tidak penting, itu tidak menandakan agama Buddha, itu hanya kulit baju biasa. Yang paling penting menandakan agama Buddha adalah kembalinya filsafat 5 teks besar ini.

Kembalinya 5 teks besar ini menghidupkan kembali tradisi debat, menghidupkan kembali tradisi analisis. Bahkan kitab suci itu dipertanyakan, Sutra itu dipertanyakan, Abhidhamma itu dipertanyakan, kata-kata Buddha itu dipertanyakan karena Buddha sendiri mengijinkan cara seperti ini.

Setelah kita banyak belajar kita melihat guru-guru besar dari Nalanda memberi banyak telaah. Sampai kita bisa mempelajari telah-telah beliau-beliau, kita harus berpikir bahwa mereka itu bukan biksu biasa yang kita anggap rendah, logika mereka melebihi ekspektasi kita, mengerikan sekali. 

Ini seperti umbi yang dipotong. Kemarau panjang, kena hujan bibit tumbuh, bertunas, berbunga, akarnya masih ada, benih tumbuh. Ini agama Buddha Indonesia 2.0. Kembalinya filsafat ini sangat penting bagi Buddhis Indonesia.

Buddhis Indonesia itu harus direformasi. Tolong sampaikan, tolong beritakan kepada banyak orang, tolong sebarkan kepada banyak orang. Saya merasa saya bertanggung jawab untuk mengatakan bahwa Buddhis Indonesia itu harus reformasi, harus berubah, jangan latah. Buddhis Indonesia itu harus tumbuh dengan akarnya, tradisinya, belajar filsafat karena belajar filsafat ini membuat kita memahami pola pikir Sang Buddha dan ini menunjukkan suatu hal yang paling penting bahwa kita menempuh jalan, mencapai Kebuddhaan, memasuki nirvana ini adalah perkara serius. 

Jadi bukan, bukan kamu patah hati terus pakai jubah seperti kata orang tua-orang tua dulu  “Oh, kamu tidak laku kawin, patah hati terus pakai jubah.” Pakai jubah itu justru suatu karir yang serius, panjang, butuh ketekunan, butuh keuletan, butuh keseriusan, dan butuh persiapan panjang.

Ketika kita mulai membangun biara, ketika itu kita di Bandung, kalau saya tidak salah sekitar tahun 2009-2010 gitu, saya bilang, “Bagaimana Rinpoche, apakah kita harus mulai?” Beliau mengatakan, “Mulailah. Kita membuat orang agar siap praktik Dharma.” Itu motivasinya. We make people ready to practice the Dharma, so the purpose untuk set up Biara adalah we make people ready to practice the Dharma. 

Kita membuat orang itu siap memasuki praktik Dharma ketika orang-orang mempelajari Sutra Paramita. Tadi kan sudah kita lihat mereka berdebat. Apakah Buddha itu masih punya Bodhicitta? Kita berdebat tentang kesunyataan. Kita berdebat tentang dasar-dasar Buddhis, warna itu apakah merah. Itu perjalanan satu orang memahami pola pikir Buddhis, filsafatnya, dan akhirnya dia harus menemukan dia itu adalah orang yang serius menapaki jalan spiritualnya. Serius dalam arti setiap hari saya merenung, setiap hari saya berpikir, setiap hari saya menganalisa, setiap hari saya melihat fenomena sekeliling saya, setiap hari saya merefleksi, setiap hari saya mengubah batin sehingga jalan ini serius dilangkahi satu per satu sehingga kita memasuki marga pertama, marga kedua, marga ketiga, kemudian marga tanpa belajar lagi, kemudian Bhūmi pertama, Bhūmi kedua, Bhūmi ketiga.

Kita butuh modal, kita butuh informasi, kita butuh pemahaman, kita butuh materi, butuh pengetahuan yang jelas. Habis ini apa? Habis ini apa? Habis ini apa? Sehingga kita “Oh iya, saya sudah di level ini. Cara naik level selanjutnya bagaimana?”

Jadi, kelas biara ini memang sulit buat orang masuk ya, memang saya paham sulit, tapi biara ini menggambarkan rahim yang menghasilkan Buddha. Di depan itu kan ada kolam teratai dan ada seekor gajah dan dia menghadap kesini. Filsafat pelataran ini adalah yang mana kolam teratai dan halaman debat ini adalah rahim Buddha. Itu diambil dari kisah Buddha menampakkan mimpi dalam seekor gajah bertaring enam, mengitari mamanya, Ratu Maya, kemudian dia masuk. Kolam teratai itu adalah rahim Buddha, rahim mamanya, dia masuk, kemudian lahir dan menjadi sebuah teratai dan tumbuh dan mekar, mencapai Buddha. Ini adalah biaranya yang mana kita melahirkan diri kita sebagai seorang Buddha. Jadi mengapa itu kolam teratai ada gajah menghadap ke sini? Itu bukan hiasan belaka. Makna dalamnya adalah biara ini adalah rahim yang mana kita lahir menjadi seorang Buddha.

Ketika bahas seperti ini, maka saya ingat saya harus terima kasih kepada banyak orang: Cik Lan, Ali dan keluarganya, Liang dan banyak orang, Cik Beicen, Om Liong Han, dan banyak orang, Cik Wienneke dan banyak orang. Mereka-merekalah yang sebenarnya membantu, memulai karya ini.

Kemudian saya ditanya, “Kenapa saya bikin biara?” Saya bikin biara bukan senang duduk di tempat ini karena saya sudah dua kali bilang ke Rinpoche, “Rinpoche, sudah waktunya saya tidak jabat dan harus Gen Palbar yang naik dan saya bisa bekerja lebih banyak, lebih luas.”
Tapi dua kali proposal ini Rinpoche belum setuju, nanti saya akan ngomong ketiga kalinya karena saya tidak bisa terlalu banyak waktu di biara, banyak yang harus saya kerjakan, Gen Palbar yang lebih pantas karena dia Geshe, Lharampa Gyüme, Tantrik school, saya kan bukan siapa-siapa.

Tapi Rinpoche belum iya, tapi saya tidak tahu kenapa alasannya. Saya sudah tanya dibilang, “Nantilah sambil lihat.” Ya nanti saya akan ngomong lagi. Di tangan Gyenlag, harusnya biara ini akan lebih berkembang. 

Jadi orang bertanya, “Kenapa kita bikin biara, kita set up Biara?” Bukan karena saya suka duduk di sini, bukan. Saya juga mau membangun istana besar, tempat tinggal saya, tapi kalau saya bilang, “Saya mau bekerja untuk agama Buddha Indonesia,” sepertinya terlalu muluk-muluk, terlalu hebat, kedengarannya terlalu indah. 

Tapi, yang jelas adalah saya mau mendapatkan karma baik yang besar sekali dengan cara saya menyenangkan Guru saya. Guru saya senang ketika orang-orang praktik Dharma serius dan memasuki marga dengan sesungguhnya serius. Guru saya telah bekerja untuk Indonesia 25-30 tahun, di Asia ini 35 tahun. Beliau menginginkan hasil, yaitu hasil yang dia tanam untuk bisa melihat bahwa benih Kebuddhaan itu serius tumbuh. Kita tidak melakukan suatu tindakan datang ceramah dapat ampau, ecek-ecek seperti itu, tidak, tapi ini serius. Rinpoche serius membuat orang mempersiapkan segala sesuatu agar orang itu serius praktik Dharma. Jadi saya menyenangkan Beliau. Karena saya menyenangkan Beliau, saya dapat karma baik besar, jadi itu harapan saya.

Lalu Beliau juga merasa bahwa Buddhadharma ini harus kembali di tanah Indonesia karena Beliau merasa punya koneksi kuat dengan bangsa ini. Ya kita semua orang meyakini beliau adalah reinkarnasi dari Guru Dharmakirti yang lampau yang mana Guru Atisha datang belajar dengan Beliau dan Beliau adalah putra Indonesia di zaman dulu dan Beliau harus bertanggung jawab. 

Seperti berkali-kali sambutan saya di publik dan di depan Rinpoche saya bilang, “Engkau harus bertanggung jawab atas kemajuan Buddhadharma Indonesia.” Lalu kalimat selanjutnya saya bilang, “Saya bersedia membantu Anda, imbalan saya adalah saya dapat karma baik yang besar sekali.” Karena kalau saya dapat karma baik yang besar saya bisa dengan mudah memasuki marga penglihatan, marga-marga dan Bhūmi-Bhūmi Bodhisattva dengan mudah karena saya dapat karma baik besar karena saya menyenangkan Guru saya dan saya membantu 270 juta orang Indonesia, karma saya kan besar, sangat besar. Jadi saya melihatnya seperti itu dan sekarang hasilnya kelihatan ada debat 10 tahun. 

Kelas debat 10 tahun yang ada hasil sudah sampai Mādhyamika, tapi kelasnya sudah Winaya ya. Setelah Vassa ini selesai mereka pergi ke India untuk ujian parcin, ya kan? Hasil! Saya tinggal nunggu 2-3 tahun kemudian, kapan kalian jadi Geshe? Kapan? Kapan kalian jadi Geshe? Kira-kira 2-3 tahun kemudian, ada lah kali ya, Gyenlag? 2-3 tahun lagi kalian jadi Geshe?

Saya gak penting dia Geshenya Lharampa, gak penting, gak penting, aku gak cari, gak perlu Lharampa. Toh, aku gak tau mereka bisa ikut Gelug Gyuto enggak? Bisa enggak? Gak perlu Lharampa, yang penting gelar lulus Geshe. Bisa gelug gitu enggak? Ujian gelug? Kan member dari Dagpo harusnya bisa masuk gelug. Ujian Gelug itu ujian negara dari seluruh biara Gelug. Ujian gelug?  Ya, 6 tahun. Iya, apakah kita perlu title itu? 

Aku tanya Rinpoche, “Rinpoche, kita perlu title itu enggak?” 
“Gak perlu lah Lobsang Oser, kamu cari title?” 
“Enggak sih. Tapi kan label itu perlu toh ya?”
“Iya, iya, iya, label itu perlu.  Tapi, apakah mereka sanggup ya?” 
“Ya gak tau,” saya bilang, “Kita paksa saja.”  
“Oh iya, baiklah kalau begitu.” 
“Kita paksa saja Rinpoche, kalau enggak paksa kan enggak tau tau?” 
“Oke, ya kamu lakukanlah.”  
“Terima kasih”, saya bilang.  

Geshe ini artinya dge-ba'i bshes-gnyen. Dge-ba'i bshes-gnyen itu secara harfiah Kalyāṇamitra, diartikan sebagai guru. Geshe itu artinya orang yang baik, sahabat baik.  Itu kata Geshe. Ya, mereka kan pasti baik, kita memaksa mereka menjadi baik dengan sistem pendidikan. 

Ya setidaknya akhirnya kan kalian tau toh sekarang Buddha itu punya Bodhicitta apa enggak? Bodhicitta Buddha itu seperti apa? Pola pikir seorang Buddha itu seperti apa?  Otak Buddha itu apa isinya? Jadi tahu akhirnya bagaimana kita melangkah menuju Kebuddhaan. Jadi praktik Dharma adalah sesuatu yang serius di KCI.  

Nah, sekarang Indonesia akan punya banyak Geshe. Nah, apa gunanya Geshe ini?  Geshe ini penting untuk menjadi pionir, perintis daripada sistem pendidikan monastik yang sesungguhnya. Nah ini kata sambutan selanjutnya akan saya sambung ketika upacara Geshe Tongkor mereka. Nanti saya sambung, saya lanjutkan.  

Sekarang saya, balik ke sambutan yang kali ini. Saya terima kasih kepada banyak orang  yang telah memberi kerja kerasnya. Seperti tadi saya sebut, Cik Lan dan keluarga besarnya, kemudian Cik Win dan keluarga besarnya, termasuk Rio yang di Bali, banyak sekali, Rinpoche, mendiang Geshe La. Merekalah yang memulai karya-karya besar Rinpoche ini.  Jadi, gelas ini [souvenir Peringatan 10 Tahun Debat], kirim ke Perancis.

Kelihatannya sederhana, nggak gimana-gimana. Tapi bagi kami, ini adalah  hal yang sangat besar. Bagi Rinpoche, sangat besar. Kita coba bayangkan memulai Abhisamayālaṃkāra, memulai Mādhyamika Avatāra, memulai Abhidharmakośa, memulai Prajñā Pāramitā. Bukan sekedar baca, bukan sekedar diterjemahkan, tapi dipelajari dan didebatkan. Itu karmanya besar sekali, melawan karmanya 270 juta orang di Indonesia, bekerja untuk menumbuhkan karmanya 270 juta orang. Besar sekali, huge, extremely huge. Sebesar apa? Kalau kita logis-logiskan, 270 juta orang dari Sabang sampai Merauke. Besar sekali. 

Nah, kita juga menunjukkan bahwa perempuan bisa. Ya, ada Geshema nanti, dia dengan lantang melawan, “Nggak. Kalimatmu salah.” 

Jadi, saya melihat peringatan 10 tahun Debat Filsafat ini, I can feel what Rinpoche feel, I can feel what Rinpoche thinking ketika Rinpoche melihat itu. Itu kerjaan besar, berat, 30 tahun datang, bekerja.  Tentu, kita ada karma menyambut. Kalau kita nggak ada karma menyambut, nggak mungkin ini. Paham ya? Ada karma menyambut, yaitu yang tadi, umbinya nggak kering sama sekali, kalau ditebas, hujan, tumbuh lagi. 

Karya besar, ekstrim, benar-benar tak terkatakan kebajikannya, tak terkatakan karya besarnya. Mengembalikan agama Buddha yang sesungguhnya, membalikkan tradisi dan membalikkan sejarah bangsa Indonesia, mengembalikan agama Buddha Indonesia.

Bukan saya yang bekerja.  Ya, tentu saya yang mengkepyak-kepyaki, saya sadar itu. Tapi bukan saya. Saya terima kasih, kita harus berterima kasih kepada Rinpoche, mendiang Geshe La, dan orang yang paling penting disini adalah Gen Palbar.  

Ketika di Gambung, ketika itu saya tanya, “Rinpoche, bagaimana? Perencanaan kita terhadap Biara, kapan kita mau mulai, dan segala macam.”  Kita sampai bahas-bahas.  Saya bilang, “Ini ada Gen Palbar.” Konon, ceritanya dia sakit. “Saya bawa aja ke Indonesia lah ya, alasannya berobat.” “Oh iya, coba lah ya.”

Beliau berdua mengurus visa naik becak dengan saya dari Manjutila ke Chanakyapuri di Delhi. Urus berkali-kali, visanya gak jadi. Saya bilang, “Tunggu sama aku aja.” Sampai sana, pasport-nya majuin ke Duta Besar RI, setengah jam. Dia bilang, “Sudah beres, jam 3 ambil.”

Mereka dua, “Hah? Udah?”  
“Iya, udah.”  
“Oh,” Mereka dua kaget. 
Saya bilang, “Kalau bendungan jebol, kamu ga akan sanggup menahan karmamu.”

Mereka dua bohuat sama saya. Jadi Gen Palbar sama Sangdup waktu itu. Saya bilang, “Bendungan kalau jebol, kamu gak akan sanggup menahan arus karmamu. Nah, jadi datanglah. Datang, biar lihat-lihat.”Terus saya tanya Rinpoche, “Orangnya merasa nyaman.  Kita tahan aja ya?” “Iya, kita tahan saja.”

Jadi, saya terima kasih banyak Gyenlag telah bersedia menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Terima kasih, dia hatinya besar memikirkan Indonesia. Terima kasih kepada dia untuk bersedia menolong 270 juta orang dan menolong masa depan Indonesia. Saya terima kasih ke Gyenlag karena telah memulai kelas ini, kelas tsennyi. Kelas debat ini kan dulu di Gayam tuh, di lapangannya Gayam itu, di halaman belakangnya Gayam itu.

Saya terima kasih ke Gyenlag bersedia membantu bangsa Indonesia. Jadi bukan membantu saya, membantu bangsa Indonesia sesungguhnya. Karena saya tidak melihat saya perlu dibantu. Untuk apa saya sendiri? Saya tidak butuh, bangsa Indonesia yang butuh. Bangsa Indonesia berhutang budi padamu, oh Gyenlag. Terima kasih, engkau telah mau di sini.

Konon katanya, yang menggoda Gyenlag di sini itu adalah bakmie. “Apa yang membuat kamu mau di Indonesia?” “Bakmie,” katanya. “Bakmie ndonesia enak.” Dia rindu bakmie.  Makanya hari ini Geshe Tongkor, makannya bakmie. Ya serius dia bilang begitu. Sebenarnya yang menggoda dia bertahan di Indonesia adalah bakmie. 

Ini adalah tonggak penting. Geshe Tongkor pertama akan menular Geshe Tongkor kedua, ketiga, keempat, kelima. Makanya saya bilang, “Gyenlag, Geshe Tongkor-mu harus diadakan di Indonesia.”

Nah ketika Geshe Tongkor diadakan harus mengikuti tradisi Je Rinpoche. Ketika dalam  sejarah hidup-Nya, Beliau, saya lupa, agak gak begitu ingat, Beliau itu ada di mana, yang jelas Beliau bersandar di sebuah tiang dan  melafalkan bait-bait  Mādhyamika Avatāra, kalau gak salah saya. Maka tiang itu dibuat menjadi tugu yang di belakang (tugu Je Tsongkhapa). Jadi, siapapun yang jadi Geshe, dia harus bersandar di tiang itu dan membaca ya terserah, mau Parcin boleh, Lamrim boleh, Abhisamayālaṃkāra boleh, Abhidharmakośa boleh. Pokoknya dia baca. 

karena tiang itu ada Je Rinpoche di situ, itu ada sejarahnya, ada maknanya, ada reliefnya. saya nggak usah cerita di sini. Nanti kapan-kapan aja. Karena itu, biara itu belum ada bangunan apapun, tiang itu dibangun duluan. Saya berterima kasih daripada tiang itu. 


Tugu itu penting. Tugu, titik. Kalau tidak ada tugu, mungkin ya gak tau ya. Jadi, kita belum mulai, bangun apapun belum mulai, itu tugu berdiri dulu. Tugu itu penting. Jadi, begitulah cerita hari ini. Hari ini sejarah Indonesia berubah, hari ini bangsa Indonesia mulai panen. 

Saya senang sekali dengan Didi, tadi dia sudah bisa debat dan gayanya persis itu kayak monk-monk dari Mount Himachal ini lempar ke Ngari Kamsen gak ada orang tau. Buang paspor, lempar ke Ngari Kamsen, sudah gak usah pulang. Udah hitam keling, masuk ke Ngari Kamsen persis itu kan? Lempar ke Ngari Kamsen selesai dia, sama Jeruk udah berdua. Nanti, dia malah tidak belajar Tibetan, malah belajar Hindi. 

SAGIN harus lihat belajar Dharma itu begitu. Gundul, pakai jubah itu bukan profesi, bukan pekerjaan, bukan cari makan, tapi praktik Dharma. Belajar tuh seperti itu. Praktik Dharma untuk apa? Untuk Kebuddhaan, itu serius.

Jadi kamu orang yang sudah belajar, saya sudah ngomong berkali-kali. Intinya adalah  simbol itu, gajah dan kolam itu, rahim Buddha untuk tumbuh menjadi seorang Pangeran Siddhartha yang menempuh perjalanan. Itu yang paling penting. 

Hari ini tonggak sejarah agama Buddha berkembang. Adanya Geshe pertama, kemudian nanti Geshe-Geshe berikutnya. Kita ini, bangsa Indonesia berhutang banyak pada Beliau  dan terima kasih kontribusi-Mu untuk Indonesia, Gyenlag. Terima kasih bakmie-nya hari ini, terima kasih banyak hadiah.

Kalian tolong tiap tahun Geshe Tongkor ya. Itu aja, terima kasih. Semoga ini adalah awal yang sangat baik, tangga pertama, kedua, ketiga dan seterusnya untuk bangsa Indonesia  yang kita sangat cintai ini.

Bagi saya pribadi, hal ini adalah saya menyenangkan Guru saya karena saya tahu Guru saya itu selalu memikirkan bagaimana perkembangan Buddhadharma Indonesia, selalu bertanya bagaimana perkembangan Indonesia, selalu bertanya bagaimana agama Buddha bangsa Indonesia, bapak presiden, “Presiden Indonesia itu bagaimana sekarang?”

Kalau ketemu, nanyanya itu. Beliau sangat konsen tentang Indonesia, “Sekarang Indonesia bagaimana, itu Buddhayana bagaimana? Itu presiden siapa itu yang kurus?”
“Oh, Jokowi.” 
“Baik dia? Bagaimana? Katanya mau pemilu itu berikutnya siapa?” 
“Ada orang rambut putih katanya.” 

Iya, iya, saya bicara begitu. Beliau juga nanya Ahok, Ahok jadi jual minyak. 
“Bagaimana Buddhayana?” 
“Ya Buddhayana  menyedihkan,” saya bilang. 
“Kenapa?” 
Banyak lah jangan di sini.  

“Bagaimana agama Buddha?”
“Kacau balau, oh kasihan sekali.”
“Kita bagaimana?” 
“Ya ada dua anak tiga anak baru, satu anak cucunya Bhante Giri, satu saya nemu.” “Belajarnya bagus?” 
“Ya bagus.” 
“Saya sedang memikirkan mau memperlihatkan video ini kepada Anda, nanti saya kasih lihat.”
“Oh bagus bagus.” 

Jadi ceritanya begitu. Ngga percaya? Tanya Heuheu, aku ada buktinya. 

Kemudian saya lupa, Rinpoche beberapa saat yang lalu berpesan bahwa kita perlu punya tradisi sendiri, tidak perlu terlalu bergantung, kita harus mandiri, tidak perlu terlalu gantung pada ideal. Beberapa ya, tidak perlu 100% dan kita perlu Tantra, perlu Yidam. Saya tanya “Yidam apa? Di Gelug kan ada Yidam ini, Yidam ini.” Nantilah kapan-kapan, pokoknya sepotong cerita ini saya bocorin sedikit-sedikit. Demikian, terima kasih.

Saya bersukacita atas aktivitas hari ini. Saya mewakili Rinpoche juga bersukacita atas ini.   Saya senang atas karya Rinpoche yang sudah tumbuh dan saya berbahagia karena karma baik saya panen karena saya menyenangkan Guru saya, bekerja untuk Guru saya, maka ada hasil seperti ini, saya dapat karma baik.

Saya senang kalau bangsa Indonesia punya harapan dan saya senang kalau harapan kita ini, panen ini, bonggol yang tumbuh itu ada yang jaga, Gen Palbar ini. Ya saya akan ngomong sekali lagi bagaimana saya mau pensiun. Besok saya bawa hadiah yang agak besar, mungkin disetujui. Terima kasih, mari kita bersukacita atas aktivitas hari ini, perayaan Gyenlag jadi Geshe. Umur panjangnya kita doakan, kesehatannya kita doakan, hatinya bahagia kita doakan, pencapaiannya kita doakan.

Saya gak tau apakah perlu saya disebut di sini tapi tadi saya noleh-noleh Ucup, Ucup ga ada reaksi apa-apa. Saya lagi cari hari baik, tapi ya nantilah ya. Dah nanti aja deh aku tak menemukan hari baik, hari baiknya gak tau kapan. Jadi saya mau bangun rumah untuk Gyenlag di Kuti Tiga ya. Di pojok Kuti Tiga, di bawah itu, mau bangun rumah untuk Gyenlag dari Joglo, tapi saya mau sembahyang Dewa Bumi, tapi saya tak menemukan hari baik. Maaf saya masih terlalu superstitious. Hari baik itu penting. Ya, demikian hadiah jadi Geshenya untuk Beliau. 

Namo Sanghyang Adi Buddhaya, Namo Buddhaya


Share: