Kepulauan di Nusantara menyimpan banyak sekali jejak peninggalan kejayaan peradaban Buddhis. Tidak hanya dalam segi maritim, kerajaan Buddha di Nusantara juga menjadi jantung intelektual Buddhis sedunia. Bagaimana tidak, banyak cendekiawan Buddhis dari mancanegara singgah dan belajar Buddhadharma di Nusantara.
Kemajuan intelektual Buddhis di Indonesia zaman dahulu tercatat secara jelas di wilayah Kerajaan Sriwijaya, yang mana terdapat suatu kompleks pendidikan yang disinggahi pendeta dan cendekiawan Buddhis di masa lalu sebelum mereka melanjutkan studi di Nalanda. Jika kita mengenal jalur sutra sebagai jalur perdagangan, maka hubungan pusat pendidikan di Sriwijaya dengan Universitas Biara Nalanda yang ada di India memberikan kita suatu jalur pengetahuan Buddhis tersendiri.
Misalnya, para pelajar dari Tiongkok yang hendak belajar di Nalanda dapat terlebih dahulu belajar bahasa Sanskerta di Sriwijaya. Tidak hanya menggunakan bahasa Sanskerta sebagai bahasa pengantar, tetapi pola pembelajaran & kehidupan biara di Sriwijaya juga menjadi cerminan kegiatan biara Nalanda.
Dengan demikian, terdapat keterkaitan yang erat antara kurikulum pendidikan Buddhis di Sriwijaya dengan Nalanda, yakni pusat pendidikan di Sriwijaya memberikan materi pengantar bagi pelajar yang hendak meneruskan ke Nalanda.
Selain itu, hubungan diplomatis yang erat antara Sriwijaya dengan Universitas Nalanda juga tercantum dalam berbagai peninggalan dan catatan sejarah lain. Salah satu catatan menyebutkan bahwa Raja Sriwijaya juga membangun sebuah kuil di dalam kompleks Nalanda bagi pelajar-pelajar Sriwijaya.
Sayangnya, pusat pengetahuan yang berada di Sriwijaya dan Nalanda harus hancur karena kemunduran dan serangan kerajaan lain. Meski demikian, sistem pendidikan yang ada di Sriwijaya dan Nalanda berhasil dilestarikan di biara-biara Tibet. Hal ini tak lepas dari peran Guru Atisha, yang pernah memperoleh bimbingan dari Guru Suwarnadwipa ketika di Sriwijaya dan banyak guru besar lainnya ketika di Nalanda.
Selain meneruskan sistem pendidikan dari Nalanda berupa pembelajaran 5 Teks Besar, biara-biara di Tibet juga meneruskan silsilah instruksi pusat pendidikan di Sriwijaya yang berasal dari Guru Suwarnadwipa. Maka, tidak heran jika masyarakat Tibet bisa dianggap mewarisi kebijaksanaan dari leluhur Buddhis Nusantara.
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan di biara-biara Tibet melahirkan suatu gelar ‘Geshe’ yang berarti ‘Sahabat Bajik’ atau ‘Kalyāṇamitra’. Istilah Kalyāṇamitra sendiri sudah ada sejak zaman Buddha, salah satunya tercantum dalam Dighajanu Sutta (AN 8.54)::
Dan apakah pertemanan yang baik? Di sini, di desa atau pemukiman mana pun seorang anggota keluarga menetap, ia bergaul dengan para perumah tangga atau putra-putra mereka—baik yang masih muda maupun yang sudah tua, dengan moralitas yang matang—yang sempurna dalam keyakinan, perilaku bermoral, kedermawanan, dan kebijaksanaan; ia berbincang-bincang dengan mereka dan berdiskusi dengan mereka.
Para cendekiawan Tibet menangkap dengan baik maksud dari ‘Kalyāņṇmitra’ dan kemudian memberikan gelar ini kepada seseorang yang memiliki kualitas moral sempurna yang mampu menjadi teman kita berdiskusi. Ini berarti, seorang Geshe benar-benar menjadi teman yang membawa kita ke perilaku positif atau konstruktif dan terlibat dalam perilaku konstruktif dengan kita.
Gelar Geshe sendiri mula-mula digunakan untuk menghormati guru-guru besar Kadampa, tradisi Buddhis yang dipelopori oleh Guru Atisha. Gelar ini mirip dengan gelar ‘Pandita’ yang diberikan pada guru-guru terpelajar di India seperti Guru Atisha yang merupakan Pandita terakhir dari 17 Pandit Nalanda dari Biara Nalanda yang terkemuka. Kata Pandita sendiri artinya adalah yang terpelajar. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa gelar Geshe juga merupakan adaptasi dari gelar Pandita yang digunakan oleh guru-guru besar Buddhis di Biara Nalanda, India.
Sekalipun makna Geshe merujuk kepada Sahabat Bajik, namun pada dasarnya, untuk menjadi seorang yang bajik, kita dituntut untuk terpelajar. Oleh karena itu, gelar Pandita dan Geshe juga masih saling terkait dan saling melengkapi secara makna.
Pada perkembangan berikutnya, gelar pendidikan Geshe semakin dijunjung tinggi oleh tradisi Gelug yang sangat menekankan pada pendidikan intelektual. Tradisi Gelug sendiri didirikan oleh Je Tsongkhapa yang juga menjadi salah satu bentuk perkembangan tradisi Kadampa yang didirikan oleh Guru Atisha beberapa ratus tahun sebelumnya.
Seiring dengan menguatnya pengaruh tradisi Gelug, ditambah melalui serangkaian reformasi sistem pendidikan yang dilakukan oleh beberapa kelahiran terdahulu dari Yang Maha Suci Dalai Lama, gelar Geshe mendapatkan tempat yang lebih pasti dan jelas dalam tradisi intelektual Tibet, yakni gelar yang diberikan kepada para lulusan yang telah berhasil menempuh pendidikan monastik.
Sistem pendidikan monastik di biara-biara Gelug mencakup lima topik utama, berdasarkan lima teks besar dari India yang dipelajari melalui penalaran dan debat atau yang disebut juga sebagai “Tshennyiy”. Sepanjang masa pembelajaran, anggota Sangha monastik juga mempelajari keempat sistem perguruan filsafat Buddhis India: Vaibhasika (Tibet: Jedragmawa), Sautrantika (Tibet: Dodepa), Cittamatra (Tibet: Semtsampa), dan Madhyamaka (Tibet: Umapa).
Baca: Sistem Pembelajaran Gelug
Ketika seseorang telah menyelesaikan masa pembelajarannya untuk meraih gelar Geshe, maka akan diadakan suatu upacara khusus untuk merayakan selesainya masa pembelajaran ekstensif 20 tahun. Jika di pendidikan sekuler saat ini kita mengenal adanya upacara kelulusan berupa wisuda bagi mereka yang menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana, maka hal yang sama ternyata juga dilakukan di sistem pendidikan ini, yakni dengan upacara Geshe Tongkor (Beberapa pengejaan lain: Thonglor, Tongor, Tonggo).
Jika pada wisuda sarjana, seorang lulusan berfokus untuk merayakan pencapaian diri sendiri dan sering kali menerima bunga dan hadiah dari teman-teman; sedangkan pada Geshe Tongkor, yang terjadi justru sebaliknya, yakni seseorang yang lulus malah harus berfokus pada ‘memberi’ (Thong).
Seorang Geshe yang baru mendapatkan gelarnya akan memberikan banyak persembahan berupa bunga, makanan, minuman, dan dana lainnya kepada biksu-biksu yang ada di biara, serta kepada keluarga dan kerabat yang diundang dan hadir dalam perayaan itu. Persembahan ini menjadi modal kebajikan yang besar. Selain itu, ini merupakan tanda mudita cita yang luar biasa. Seorang Geshe juga memberikan persembahan kain khatag pada para Buddha, Istadewata, dan Kepala Biara. Persembahan yang luar biasa besar ini tentu akan menciptakan karma bajik yang luar biasa besar bagi seorang Geshe yang baru menamatkan pendidikannya.
Mengingat upacara ini membutuhkan banyak sekali persembahan, tidak jarang banyak sponsor, kerabat, dan teman membantu menyiapkan keperluan perayaan tersebut. Hal ini juga menjadi siklus persembahan tersendiri, para Geshe yang baru lulus dan calon Geshe saling membantu untuk menyiapkan perayaan ini.
Siklus persembahan ini kemudian melibatkan Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya sebagai penyokong perayaan kelulusan seorang Geshe. Tentu saja ini tak lepas dari banyaknya pihak yang telah membantu biara untuk mewujudkan hal ini.
Dengan terlibatnya biara ke dalam siklus persembahan wisuda Geshe, maka biara sudah menanam jejak yang amat baik dan kuat bagi kemunculan Geshe-Geshe baru di Indonesia. Dengan munculnya Geshe-Geshe baru tersebut, tentu akan meningkatkan kualitas Buddhis Indonesia secara keseluruhan.
Indonesia saat ini bukanlah negara yang mayoritas Buddhis. Bahkan, Indonesia pun seolah terputus dari tradisi spiritual, silsilah, dan intelektual Buddhis yang dulu sempat berjaya di Nusantara. Banyak masyarakat Indonesia tidak tahu bahwa leluhurnya di zaman dahulu pernah membangun pusat pendidikan yang masyhur di kancah internasional.
Hadirnya Sangha di Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya merupakan suatu berkah yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Hal ini karena komunitas monastik di biara ini mewarisi silsilah Emas yang bisa dilacak silsilahnya sampai ke Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dari Sriwijaya yang mempunyai pusat pendidikan Buddhis terbesar di Asia Tenggara saat itu.
Dengan demikian, Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya menyambungkan kembali silsilah spiritual dan intelektual Buddhis Nusantara yang praktis telah terputus lebih dari 500 tahun sejak runtuhnya kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara.
Ini merupakan suatu berkah di mana kita masih mempunyai karma bajik luar biasa untuk kembali mendapatkan silsilah ajaran yang mulia dari berbagai guru besar baik yang berasal dari Nusantara itu sendiri, Nalanda, dan juga Tibet.
Tidak hanya silsilah yang berasal dari Sriwijaya, namun juga sistem pendidikan Buddhis tradisi Nalanda yang telah dilestarikan di biara-biara Tibet pun turut tersambung. Dalam hal ini, tradisi seperti pembelajaran Tsennyiy (5 Teks Besar) dan debat filosofis kembali dilakukan. Kelima teks besar itu sendiri adalah Prajñāpāramitā, Mādhyamika, Pramāṇa, Abhidharma, dan Vinaya. Di antara 84.000 ajaran Buddha, baik Sutra atau Tantra, 5 Teks Besar ini termasuk dalam kategori Sutra yang akan membuat praktik Tantra menjadi lebih sempurna.
Sedangkan untuk perdebatan filosofis, hal tersebut merupakan keterampilan khas yang dimiliki oleh para cendekiawan di India, termasuk guru-guru besar di Nalanda. Kehidupan intelektual di India zaman kala itu menuntut para cendekiawan untuk memiliki kemampuan debat filosofis. Sebabnya jika cendekiawan kalah dalam suatu perdebatan, ia bisa dipaksa masuk ke dalam tradisi pihak yang mengalahkannya.
Oleh karena itu, jika cendekiawan Nalanda tidak dibekali dengan keterampilan debat filosofis, tentu akan menjadi ancaman yang nyata bagi perkembangan ajaran Buddhis. Bahkan diceritakan bahwa untuk memasuki kompleks Biara Nalanda, seseorang harus mampu mengalahkan penjaga yang mengajaknya berdebat sebelum masuk ke biara.
Mengingat sistem pendidikan Buddhis di Tibet berdasarkan pada sistem Nalanda dan Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya mengambil silsilah dari Biara Drepung yang disebut sebagai Biara Nalanda Kedua, maka tidak heran jika keterampilan berdebat juga dipelajari dan diteruskan di Biara.
Peringatan Debat Filosofis Biara
Sejak 19 Juni 2013 hingga tahun 2023, Sangha monastik di Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya sendiri genap menjalani 10 tahun debat filosofis.
Peristiwa debat filosofis pertama ini dalam Bahasa Tibet dikenal dengan istilah “Chora Uze Jego”, yaitu aktivitas "membuka pintu", penanda dimulainya aktivitas debat di sebuah komunitas monastik. "Membuka pintu" ibarat membuka pikiran & mengawali sesuatu yang baik, sama seperti debat filosofis membuka pikiran seorang praktisi sehingga memiliki pemahaman yang kokoh terhadap Dharma.
Untuk itu, di tahun 2023 ini, biara ingin merayakan 10 tahun aktivitas “membuka pintu” dan bermudita terhadap segala hal baik yang terjadi selama 10 tahun perkembangan intelektual Buddhis di Indonesia.
Bangsa Indonesia sendiri sebenarnya juga tidak asing dengan perdebatan filosofis. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa pelajar asal Nusantara yang belajar di Biara Nalanda dan Wikramasila sehingga diasumsikan bahwa mereka juga mempelajari keterampilan berdebat filosofis yang memang menjadi kurikulum di biara-biara India.
Sekalipun memang belum diketahui secara pasti bagaimana persisnya kehidupan intelektual di Nusantara terkait perdebatan-perdebatan filosofis, besar kemungkinan bahwa tradisi perdebatan dilestarikan di pusat-pusat pembelajaran Dharma yang berkontak langsung dengan Nalanda seperti pusat pembelajaran Dharma di Sriwijaya yang saat ini reruntuhannya dikenal dengan nama Candi Muara Takus.
Oleh karena itu, tradisi debat filosofis yang dihidupkan di Indonesia oleh Sangha Monastik KCI dari Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya merupakan langkah yang semakin memantapkan tradisi intelektual sekaligus bisa dianggap upaya untuk menghidupkan kembali gairah intelektualitas umat Buddhis di Indonesia.
Selain itu, Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya juga mewarisi tradisi pembelajaran Lamrim, yakni risalah singkat yang memuat semua topik ajaran yang disusun secara bertahap untuk mencapai pencerahan, yang ditulis oleh Guru Atisha setelah belajar dari Guru Suwarnadwipa dari Sriwijaya selama 12 tahun.
Tradisi Lamrim ini sangatlah berguna bagi semua praktisi Buddhadharma yang ingin mempelajari ajaran Dharma dengan terstruktur. Tanpa mempelajari Lamrim, seseorang tidak akan bisa memahami tingkatan-tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi dan kompleks seperti yang terdapat pada 5 Teks Besar.
Guru Atisha telah mempelopori tradisi Lamrim dan menyarikan ajaran Buddha sehingga bisa dipelajari dengan runut tanpa melewatkan poin penting apapun. Hadirnya tradisi Lamrim di Indonesia merupakan angin segar bagi para praktisi Dharma yang ingin mempelajari semua inti ajaran Buddha.
Lebih jauh lagi, Biara Indonesia Tuṣita Vivaraṇācaraṇa Vijayāśraya juga mengundang seorang Geshe yang akan membimbing biksu-biksu yang ada di Biara. Geshe tersebut adalah Geshe Lobsang Palbar Lag atau yang lebih sering disebut dengan panggilan Gyenlag.
Kita tidak perlu lagi meragukan kualitas intelektual beliau yang telah menempuh pembelajaran untuk meraih gelar Geshe selama 20 tahun. Kualitas Beliau sangatlah terpercaya untuk membantu Sangha di Biara dalam belajar Dharma. Suatu berkah yang sangat besar bagi bangsa Indonesia karena dapat menghadirkan seorang Geshe untuk mengajar di sini.
Berkah tersebut menjadi lebih besar lagi manakala Beliau juga berkenan untuk merayakan upacara kelulusan Geshe atau Geshe Tongkor di Indonesia. Suatu berkah tersendiri jika ada seorang Geshe yang merayakan kelulusannya di Indonesia.
Perayaan Geshe Tongkor pertama ini menjalin ikatan karma yang akan memotivasi banyak biksu untuk menjadi ‘sahabat-sahabat bajik’ yang baru. Hal ini tentu akan mendatangkan berkah lain yang lebih besar berupa lahirnya generasi intelektual monastik Buddhis yang akan membawa dampak luar biasa besar pada bangsa ini. Ajaran Buddha pun akan semakin bertahan lama dan berkembang pesat di Indonesia. Kita semua akan mendapatkan ‘efek domino’ berkah ini dan semua kualitas baik akan lahir.
Sumber:
https://drepunggomang.org/news-events/212-geshe-ceremonies-and-geshe-damchas
https://fpmt.org/wp-content/uploads/sites/2/2007/04/what_is_a_geshe.pdf
http://tibetanbuddhistencyclopedia.com/en/index.php/Geshe
https://biaralamrim.or.id/afiliasi
https://dagporinpoche.id/tentang/silsilah-emas/
https://www.kadamchoeling.or.id/cs_team/atisha/
https://www.thejakartapost.com/life/2017/09/09/facts-about-the-sriwijaya-nalanda-knowledge-route.html
https://en.wikipedia.org/wiki/Debates_in_ancient_India