Guru Dagpo Rinpoche berpesan, “Saya titip tanam tradisi Dagpo yang unik ini di Indonesia, jika sudah mulai tinggi besar, kita bawa kembali tanam tradisi ini ke India dan Tibet. Termasuk bagaimana irama dinyanyikan.”
Y.M. Biksu Bhadra Ruci
Biara Dagpo adalah biara induk yang menjadi inspirasi tercetusnya Biara Indonesia Tusita Vivaranacarana Vijayasraya. Biara Dagpo di Tibet diprakarsai oleh seorang terpelajar yang sangat dihormati, Je Lodro Tenpa (1402-1476) dari provinsi Tibet Tengah, murid langsung Sang Raja Dharma yang unggul, Je Tsongkhapa, yang menginstruksikan kepada Beliau untuk mendirikan sebuah biara yang secara khusus mendalami dan menyebarkan Buddhadharma berdasarkan tradisi Lamrim.
Biara Dagpo termasyhur karena peraturannya yang paling ketat di Tibet. Prinsip dasarnya, dalam kehidupan sehari-hari, para biksu harus puas hanya dengan keperluannya. Ini mencegahnya terseret ke dalam salah satu dari kedua ekstrem, yaitu hidup berlebihan atau kekurangan. Para biksu tidak diperbolehkan untuk mempunyai lahan atau benda duniawi. Sebagai contoh, asrama guru yang bertanggung jawab atas beberapa murid akan dinilai terlalu mewah jika menyimpan enam karung biji barli, sebab satu karung barli merupakan makanan untuk satu bulan. Tujuannya adalah "mengembangkan sedikit keinginan" dan "puas dengan yang sudah dimiliki" supaya tidak dipengaruhi oleh delapan angin duniawi: kebahagiaan dan kesengsaraan, untung dan rugi, kemasyhuran dan nama buruk, pujian dan celaan.
Disusun sesuai petunjuk Buddha Sakyamuni dan dicantumkan dalam kitab Vinaya (aturan kehidupan biksu), kamar biksu bukanlah kamar yang luas atau tempat tinggal besar, walaupun untuk seorang Lama. Kamar itu seharusnya hanya berisi objek sederhana seperti mebel, altar, dan rak yang terbuat dari bahan biasa yang dicat dengan warna kuning. Sebuah sarung wol biasa berwarna merah menutupi kasur berisi wol atau jerami. Tidak ada bantal berukuran besar, tidak ada penutup ranjang, tidak ada kulit atau bulu binatang.
Tungku, pengocok susu, mangkuk dan penutupnya, tempat air berukuran besar, sendok sup, panci, sendok yang terbuat dari kayu, batu, atau besi, bukan terbuat dari perak, kuningan, aluminium, perunggu, keramik, atau kaca. Di Biara Dagpo, semua benda yang berharga dilihat seperti "kakak dari kelinci bertanduk", yang berarti tidak ada. Tidak ada sutra atau kain sulam untuk menghiasi baju dari wol merah dan rompi dari katun bertenun. Benda-benda yang menunjukkan status kekayaan seperti itu bisa memunculkan kemelekatan.
Biksu tidak pernah mengunci pintu kamar mereka. Kepala Biara, Kepala Disiplin, atau asistennya berkeliling mengontrol dan bisa masuk secara mendadak baik siang atau malam hari. Seandainya terlihat satu benda terlarang, mereka akan memerintahkan pemusnahan atau penyitaan untuk biara. Yang bersalah harus menebusnya sesuai dengan kesalahannya yaitu membuat dan memasang gorden untuk pintu besar bhaktisala, membersihkan karpet-karpet, mengulang namaskara di depan kumpulan biksu, menghafalkan kitab-kitab. Peraturan menentukan sanksi yang akan diterapkan dan lamanya.
Intinya adalah harus selalu taat dengan peraturan. Di dalam "Sutra Ringkas tentang Kebijaksanaan" (dalam bait-bait) dinyatakan "Apa pun yang dilakukan para biksu, baik berjalan, tidur, istirahat, ia harus penuh perhatian dan waspada serta tidak diperkenankan untuk mengarahkan pandangan melebihi ukuran kuk sepanjang 1,5 meter. Dengan demikian batin akan menjadi tenang.”
Semua diatur. Sebuah Sutra menjelaskan tentang cara memakai zen, kain panjang yang digunakan biksu untuk menutup badan, bahwa "jubah atas harus menutup sebelah bahu". Salah satu bab dari kitab aturan biara berisi peringatan tentang "tingkah laku biksu yang tidak pantas". Contohnya "berjalan sambil mengayunkan lengan atau menggelengkan kepala, menengok ke kanan kiri, bercakap-cakap tanpa manfaat terutama ketika masuk atau keluar bhaktisala". Tingkah laku demikian bisa mengakibatkan "hilangnya keyakinan" dari para umat.
Dalam kamar kecil di udara terbuka pun, para murid tidak diperkenankan berbicara hal-hal selain ajaran. Pada waktu akan mengajukan pertanyaan kepada seorang guru, mereka menunggu di bawah serambi, di samping pintu utama bhaktishala. Dengan sikap hormat, setiap orang secara bergiliran menguraikan hal-hal sulit yang membingungkan, sedangkan yang lain mendengarkan temannya dan merenungkan masalah yang sedang diuraikan.
Pada waktu makan di dalam biara, tidak boleh terdengar suara, baik dari bibir maupun ketika menelan. Waktu minum teh, makan sup, atau tsampa, para biksu harus diam sesuai instruksi Sang Buddha. Tradisi lisan menyatakan bahwa seandainya sebiji barley jatuh dari balkon dalam bhaktisala di antara barisan biksu, suara biji yang menyentuh lantai akan terdengar oleh biksu di ujung barisan.
Para biksu di Biara Dagpo tidak selalu memilih jurusan yang sama. Setelah tiga tahun belajar logika dasar yang merupakan pelajaran wajib, seorang murid diperkenankan untuk memilih pelajaran kitab-kitab utama dan filsafat sesuai keinginan dan semangat belajar mereka. Ada juga jurusan lain yang mengutamakan pemujaan kepada Buddha Tara dan memperdalam cara melantunkan doa, dan pelajaran Lamrim yang lebih ringan. Dua ratus dari enam ratus siswa akan memilih jalur terakhir.
Empat ratus siswa lainnya akan memperdalam pelajaran tentang lima topik besar yang merupakan unsur-unsur penting ajaran Sang Buddha. Lima topik besar itu adalah "Logika" (Pramana), "Kesempurnaan Kebijaksanaan" (Prajnaparamita), sistem "Jalan Tengah" (Madhyamika), "Vinaya" dan "Metafisika" (Abhidharma). Setiap topik memerlukan pelajaran intensif sedikitnya selama tiga tahun. Sesudah itu, si pelajar (petchawa dalam bahasa Tibet) diterima di kelas satu dan kemudian kelas dua topik metafisika, artinya ia harus menempuh sekitar dua tahun pembelajaran lagi. Di tingkat itu, para murid sudah belajar selama 14 tahun dan masih diperlukan 10 atau 11 tahun lagi untuk mendapatkan gelar geshe (setara doktor filsafat Buddhis). Semuanya harus dilalui tanpa meninggalkan kegiatan intelektual dan spiritual. Kegiatan terus berlanjut selama biksu tinggal di biara. Peraturan memperbolehkan pengurangan waktu pembelajaran untuk murid yang sakit atau tulku yang menunjukkan kapasitas berbeda. Para tulku juga masih harus menerima beberapa pembelajaran lain.
Dalam tradisi lisan dikatakan bahwa pembelajaran tentang Jalan Tengah dan Kesempurnaan Kebijaksanaan serta praktik Lamrim adalah "keahlian" Biara Dagpo. Seperti di biara lain, dipelajari kitab-kitab utama seperti ajaran Sang Buddha dan ulasan para cendekiawan India, karya-karya Je Tsongkhapa, dan kumpulan tulisan dari biara sendiri yang merupakan kumpulan karya terpilih yang disusun oleh guru-guru termasyhur. Karya-karya ini tidak hanya membahas atau menata kembali ajaran dari para guru terdahulu, tetapi juga berasal dari pengetahuan dan pengalaman sang penulis.
Sepanjang sembilan tahun pertama pembelajaran, para biksu muda tidur bersama dalam bhaktisala besar yang tidak pernah memakai pemanas, yang mana mereka tidur dengan postur tubuh setengah di lantai dan setengah beralaskan karpet berselimutkan mantel sesuai peraturan. Hanya biksu lebih senior yang tidur di kamar.
Pada pukul 3.30 atau 4.00 pagi, Kepala Disiplin atau asistennya yang juga tidur dalam bhaktisala akan membangunkan semua siswa secara lembut dengan suara gemerincing dari seikat batangan besi yang dibunyikan dengan suara yang makin lama makin keras. Ia kemudian melantunkan sebuah bait dengan nada yang begitu indah tetapi membuat merinding. Sebuah anjuran untuk bangun akan dimulai dengan kata-kata ini, “Di sana tembok menyerupai pagar dari mutiara putih...” Sambil menggoyangkan seikat batangan besi dengan suara yang semakin keras, ia mengitari barisan dan memeriksa supaya tidak ada yang terlambat, juga menegur yang malas.
Setelah bangun, baik cuaca membeku atau tidak, semua harus duduk di atas batu dingin di halaman depan dari aula utama dan langsung mulai melafalkan dengan suara lantang isi kitab yang dihafalkan pada hari-hari sebelumnya. Ini adalah kegiatan pada waktu subuh. Sesungguhnya setiap biksu harus mengulang dari awal semua yang pernah dihafalkan. Itu merupakan latihan untuk diri sendiri. Waktu ujian, ia harus mampu melafalkan bab-bab mana pun tanpa melupakan satu kata pun. Kadang-kadang para biksu muda cenderung mengantuk. Ketika itu, sang pengawas akan menegur, bisa dengan cara yang keras ataupun tidak. Siswa yang bersalah disuruh berdiri atau dipukul dengan tongkat atau tali. Pukulan dilakukan secara perlahan untuk kesalahan yang dilakukan pertama kali, tetapi akan lebih keras jika diulangi kembali.
Untuk kesalahan lain seperti tertidur saat pelafalan doa atau membuat keributan, ada banyak pilihan hukuman; mulai dari ber-namaskara selama berjam-jam bahkan berhari-hari, mengangkut batu, berdiri di tengah kumpulan biksu dengan menjulurkan kedua tangan yang memegang kitab tebal atau pelita minyak yang menyala, serta dicambuk sampai 200 kali bila kesalahannya sangat fatal.
Seorang biksu kenalan saya pernah dicambuk 200 kali, tetapi saya tidak dapat mengingat apa kesalahannya. Mungkin karena ia pernah berteriak ketika berada dalam pertemuan besar. Meskipun darah mengalir dari pantatnya yang telanjang karena cambukan yang keras, ia tetap bercanda setelah dihukum. Itu karena ia menerimanya. Kami masih muda dan tidak berpikir untuk mencela apa pun. Secara pribadi, selain beberapa pukulan di kepala, saya tidak pernah dihukum.
Pelafalan subuh berlangsung selama satu atau dua jam dan diakhiri dengan mandi singkat, Para biksu hanya berkumur dan membasuh wajahnya di depan pintu dapur karena tidak ada kran air. Selanjutnya, para siswa ber-namaskara di halaman bhaktisala dan melafalkan doa Tiga Puluh Lima Buddha Pengakuan yang berfungsi untuk mensucikan diri. Sementara itu para biksu senior, para murid dari kelas lebih tinggi yang belajar di kamar sejak subuh, masuk ke bhaktisala diikuti dengan yang lebih muda. Kemudian mereka bersama ber-namaskara lagi. Enam ratus biksu secara serentak melafalkan bermacam-macam doa termasuk doa perlindungan. Terakhir, saat yang paling dinikmati yaitu pensajian dua mangkuk teh setelah membacakan doa persembahan teh, sebuah doa yang disusun oleh Dalai Lama II pada abad XVI.
Teh kedua, yang bisa ditambahkan mentega, garam, atau tepung barli, disajikan setelah satu jam pembelajaran dan mengawali dua jam pelajaran debat, penghafalan, pengulangan, dan pelafalan kembali kitab-kitab. Para murid dari tiga kelas logika dasar kemudian pindah ke halaman untuk berdebat, sementara yang lain tetap di dalam bhaktisala. Sajian ketiga untuk pagi hari adalah dua mangkuk teh dan semangkuk sup kental dengan sayur, pasta, dan kadang-kadang daging. Makanan ini disajikan sambil melafalkan pujian kepada para Buddha atau Guru.
Di luar, para biksu mengakhiri pagi yang panjang dengan pelafalan Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan dalam versi yang paling panjang selama kurang lebih satu jam. Sutra ini adalah kitab utama ajaran Buddha yang menguraikan kesunyataan, salah satu kunci dari Buddhisme Mahayana, kendaraan besar. Setelah latihan debat yang berlangsung singkat, mereka masuk bhaktisala selama setengah hari untuk pelafalan Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan atau Sutra yang lain. Setelah dua mangkuk teh, para siswa mendapatkan 20 menit waktu bebas dan disajikan dua mangkuk teh lagi sambil membuat persembahan torma. Kegiatan dilanjutkan dengan persiapan untuk makan kemudian pujian kepada penerjemah agung Loden Sherad. Selanjutnya, saat untuk berkumpul di tcheura, halaman untuk debat dialektika. Akan tetapi, sebelum dimulai dan setelah pelafalan bersama pujian kepada Buddha Tara, kepala biara melafalkan bagian kitab yang akan dipelajari pada hari-hari berikutnya kepada setiap kelas. Untuk kelas "vinaya" atau "metafisika", bagian yang akan dipelajari tidak lebih dari beberapa baris. Kitab-kitab yang panjang dan sulit untuk murid kelas "Penyempurnaan Kebijaksanaan" dan “Jalan Tengah" juga dilafalkan. Kepala biara harus melafalkan semua kitab yang dibagi tanpa boleh melupakan satu kata pun. Kami semua menyadari bahwa tugas ini sangat sulit.
Selama sekitar dua jam yang intensif dan panjang, debat dialektika memberi keleluasaan total kepada para murid asalkan mereka tetap fokus pada topik yang bersangkutan. Dalam debat intelektual ini, apa saja bisa dilakukan misalnya berteriak, bertepuk tangan, berlari, menggerakan tubuh, mendorong lawannya, memotong argumen lawan, serta melontarkan argumen yang lebih mantap.
Seorang biksu menguraikan sebuah topik, yang lain menjawab, dan yang ketiga melompat dan mengungkapkan keraguannya, demikian seterusnya. Gerakan tubuh tidak diatur, kitab-kitab yang dihafalkan dengan sulit dapat mempertajam ingatan dan menghidupkan suasana debat. Para biksu harus mencari argumen yang paling tepat, yaitu argumen yang dapat memojokkan lawan bicaranya, argumen yang tak terpatahkan, yang mematikan atau membuat lawan bicaranya kewalahan. Kebanyakan biksu, dengan kepala panas dan semangat yang semakin besar mengalami saat-saat berbahagia. Mereka merasakan kecerdasan mereka meningkat dan pelajaran yang diterima perlahan-lahan mengasah penalaran menjadi sangat tajam. Walaupun biara terletak di ketinggian sekitar 4.000 meter dan pada musim dingin semua membeku, ketika para biksu berdebat satu topik yang mengasyikkan, badan dan pikiran mereka bergerak sehingga melupakan cuaca yang dingin.
Setelah debat yang bersemangat, sesi malam dibuka dengan satu atau dua mangkuk teh, pujian kepada Buddha Tara, dan persembahan torma. Termasuk juga satu jam setengah untuk menghafal dan mendengarkan penjelasan guru yang menerima murid di kamarnya. Saat itu, para murid melafalkan kembali kitab yang dihafalkan pada hari itu. Guru juga membagi pekerjaan yang harus dilakukan keesokan harinya dengan memperhitungkan kemampuan setiap murid. Tentu ada yang bisa belajar dan menghafal satu atau dua halaman kitab dalam tempo dua jam, dan ada yang hanya bisa beberapa baris saja dalam waktu yang sama. Tipe murid yang kedua akan berkembang sesuai kemampuannya. Ini menjelaskan kehadiran para biksu yang umurnya lebih tua di kelas-kelas awal.
Ketika malam tiba, para biksu dari kelas yang lebih tinggi kembali ke kamar. Mereka mempelajari kembali kitab-kitab sebelum melakukan praktik terakhir. Biksu-biksu muda dari sembilan kelas pertama, setelah waktu "Kurim" (berbagai doa), masuk ke halaman bhaktisala untuk terakhir kali sekitar pukul 21.30 dan melafalkan kembali kitab-kitab sampai pukul 23.00. Ketika itu dan hanya setelah itulah mereka dapat memikirkan untuk tidur. Biksu-biksu muda, dalam kelompok yang terdiri atas tiga orang, tidak berbicara dan berjalan beriringan secara perlahan mengelilingi bhaktisala dan berjalan sampai pintu utama. Ini akan menghabiskan banyak waktu karena setiap kelompok hanya berjalan ketika kelompok sebelumnya sudah sampai tujuan. Jadi, hari baru berakhir pukul 1.00 atau 1.30 pagi.
Malam berlangsung sangat singkat, hanya 3 atau 4 jam saja untuk tidur. Tidak semua biksu tidur. Boleh saja mereka melanjutkan pelafalan kitab-kitab selama satu, dua, atau tiga jam, bila mereka memberitahukan dan mendapat izin. Yang paling bersemangat sengaja tidak tidur dan tinggal di halaman bhaktisala tanpa mengenal lelah.
Saya rasa metode seperti ini tidak ada duanya di dunia. Bagaimanapun kami mengikutinya dengan penuh semangat. Sekarang, jika saya memikirkannya kembali, saya menilainya sangat positif. Metode ini membuat kami kuat bertahan. Pada waktu berangkat menuju tempat pengungsian, Geshe-la dan saya berjalan melintasi pegunungan Himalaya, kami bisa terus bertahan selama perjalanan panjang, beban yang berat, malam yang membeku, ketakutan akan tentara Cina, dan bertahan dengan mudah. Seorang teman lain begitu menderita ketika mengikuti kami, ia kehabisan tenaga, kahabisan napas, dan kakinya berdarah. la tidak pernah belajar di Biara Dagpo. la tidak pernah seperti kami berjalan sepanjang hari dan dengan kaki telanjang, menyeberangi sungai dengan ketinggian air setinggi pinggang untuk menuju sebuah pertapaan atau suatu tempat penyepian. la tidak pernah tahan begadang atau menjalani malam yang sangat pendek. Manusia bisa bertahan seperti itu jika menempa dirinya, melatih diri dari hari ke hari.
Di Biara Dagpo, setiap hari tidak selalu berlangsung seperti yang baru saja saya gambarkan walaupun ini yang paling umum. Tahun ajaran dibagi dalam beberapa sesi, ada yang lebih menitikberatkan pada debat, ada pula yang menitikberatkan pada penghafalan. Pada yang pertama, sesi akan ditutup dengan pertemuan akbar selama tiga atau empat hari. Pertemuan ini hanya akan diisi dengan debat yang setiap harinya berlangsung selama tiga sesi. Hari terakhir dari pertemuan ini akan dimulai setelah pukul 22.00 dan berlangsung sepanjang malam.
Pada kasus kedua yang menitikberatkan pada penghafalan, kegiatan pada waktu subuh yang sudah diceritakan sebelumnya, akan dipersingkat. Setelah itu, para murid akan pergi ke guru masing-masing dan di sana diperbolehkan tidur atau beristirahat sampai fajar. Begitu fajar menyingsing - karena tidak ada listrik - para murid harus mulai menghafalkan kitab. Kemudian mereka akan membersihkan kamar guru mereka, menyalakan api, mempersiapkan teh dan mangkuk untuk persembahan yang mencakup air untuk minum atau mandi, wewangian, dupa, bunga, makanan, bunyi-bunyian, kemudian berdoa dan makan sebelum kembali menekuni kitab sampai pukul 10.00.
Dari atas bhaktishala, seorang biksu membunyikan lonceng besar. Ini adalah tanda untuk menghentikan pelajaran dan saatnya untuk memberikan penghormatan kepada rupang Buddha Sakyamuni yang ukurannya setinggi rumah tiga tingkat, atau kepada Buddha Maitreya. Bernamaskara, melafalkan bait Trisaratia, memeditasikan batin pencerahan, mempersembahkan air, Doa Tujuh Bagian, dan dedikasi. Setelah praktik ini, para biksu kembali kepada guru mereka masing-masing. Setelah makan siang, ada waktu istirahat untuk mencuci jubah, menjahit jubah, atau membantu guru melakukan pekerjaan rumah tangga.
Dengan kegiatan yang sama seperti di pagi atau siang hari, sore hari diakhiri dengan pelafalan panjang dan instensif dari kitab-kitab, setelah semangkuk teh terakhir. Tidak ada debat pada sesi ini.
Biasanya upaya keras para murid akan diakhiri dengan ujian terpenting untuk menjadi geshe, 24 atau 25 tahun setelah memasuki biara. Untuk mendapatkan gelar yang sangat diminati ini, kandidat harus menghadapi dua ujian, pelafalan kitab yang dihafalkan dan debat.
Dalam ujian pertama, juri menilai kemampuan calon geshe untuk menghafalkan ratusan lembar kitab yang dipelajari selama di biara dan memintanya melafalkan satu bab lengkap dari setiap topik utama yang sudah disebutkan yaitu Penyempurnaan Kebijaksanaan, Jalan Tengah, Vinaya, Metafisika, dan Logika. Untuk debat, ujian kedua, juri akan memeriksa apakah makna kitab-kitab yang dihafalkan sudahi benar-benar dipahami oleh si kandidat.
Ujian diadakan dalam suasana resmi di ruang kepala biara yang juga menjadi anggota juri di bulan kesepuluh tahun Tibet. Geshe dengan pengetahuan yang paling tinggi dan para senior dalam Sangha ikut sebagai juri dan membantu kepala biara. Mereka bertiga menyimak pelafalan yang dilakukan si kandidat sambil mencermati kitab-kitab milik mereka sendiri. Seandainya si kandidat ragu-ragu atau kehilangan kata-kata, kepala biara akan memberitahukan kata berikutnya. Seandainya setelah tiga kali diberitahukan dan si kandidat masih berhenti pada kata yang sama atau tidak dapat meneruskan pelafalan kitab, ia, sesuai dengan aturan, dinyatakan gagal dan seketika dikeluarkan dari komunitas biara, la tidak dapat meneruskan ujian atau memperbaikinya, ia harus langsung keluar dari lingkungan biara tanpa melewati kamarnya.
Ujian merupakan sebuah cobaan penuh risiko. Karena itulah para kandidat melatih diri dengan sangat keras bertahun-tahun sebelum menempuh ujian. Oleh karena itu pula, kandidat dibawah bimbingan guru yang menjaganya bagaikan menjaga anak sendiri, akan memaksanya untuk melafalkan kembali kitab berkali-kali sepanjang malam.
Setelah ujian pelafalan berhasil, calon geshe mempersiapkan diri untuk berdebat mengenai lima topik utama yang dipelajari dalam kelas masing-masing.
Untuk membantu mengulang kitab semaksimal mungkin, murid dibebaskan dari pertemuan dan debat harian serta dibebaskan pula dari pelafalan doa waktu sajian teh. Bagian mereka diantarkan ke kamarnya.
Singkatnya, semua diupayakan untuk membantu mereka dan memperbesar kemungkinan untuk berhasil. Kadang, mereka tidak diizinkan keluar dari biara selama setahun, untuk melatih diri. Mereka dipanggil petsampas yang berarti "retret kitab".
Tetapi mereka tidak dipaksa tinggal dalam kamar. Ketika murid yang lebih muda berdebat di lapangan, mereka bisa datang dan memberi dukungan. Apa pun topiknya, mereka biasanya tidak sabar untuk mengungkapkan segala argumen yang ada di kepala mereka, Petsampas juga membantu guru logika mengajar penalaran dan teknik debat dialektika kepada muridnya. Akhirnya, mereka berlatih sambil menjawab serangan yang disampaikan dengan kalimat yang efektif oleh murid kelas metafisika pada akhir sesi pelajaran.
Ujian terakhir, debat, berlangsung selama dua kali dua hari. Pertama, pada musim dingin setelah ujian pelafalan kitab, kemudian pada bulan kelima tahun Tibet, pada tahun berikutnya. Di hadapan enam ratus biksu yang berkumpul di bhaktisala, dalam pertemuan yang dipimpin Kepala Biara, kandidat menghadapi sendiri murid-murid dari tiga kelas "vinaya" dan dari tiga kelas "metafisika” dengan topik pilihannya. Kemudian untuk topik Tantra, ia harus menghadapi satu kelas karapjampas, nama yang diberikan kepada geshe dari Biara Dagpo.
Siapapun lawannya, kadang ada Lama yang ucapannya begitu tajam, dan si kandidat harus bertanya tanpa ragu dan bertele-tele. Ujian yang luar biasa ini kadang menakutkan kandidat calon geshe yang kurang menyukai debat. Di antara mereka ada yang menceritakannya sedemikian mengerikan sehingga empat hari terasa seperti empat tahun.
Setelah berhasil dalam ujian, sang geshe baru pergi ke perguruan filsafat di Lhokha di selatan Tibet untuk berbagi pengetahuan mereka tentang lima topik utama yang sudah begitu serius dipelajari, direnungkan, dan diperdebatkan. Sebagai tanda terima kasih [kepada biara], sang geshe akan membagi pelajaran Buddhisme yang berharga menurut tradisi khusus di Biara Dagpo kepada yang lain. Pada bulan kedelapan dari tahun Tibet, mereka kembali ke biara dan mempersembahkan dua mangkuk teh dan satu mangkuk dretsa, yaitu nasi dengan mentega dan kismis. Kali ini mereka betul-betul sudah menjadi geshe. Bahkan orang-orang mengatakan bahwa mereka bisa melafalkan semua kitab-kitab penting yang telah dihafalkan, walaupun ketika dikejar anjing!
Sumber:
"Lama Dari Tibet" Sebuah Autobiografi Oleh Dagpo Rinpoche bersama Jean-Philippe Caudron, Desember 2008