Pada tanggal 1–11 Agustus 2022, serangkaian upacara besar bertajuk “Ruwatan dan Pemanggilan Kemakmuran” telah digelar di Biara Tusita Vivaranacarana Vijayasraya. Selama 11 hari, doa-doa dipanjatkan dan ratusan persembahan dihaturkan dalam upacara-upacara Buddhis yang juga merujuk pada kearifan lokal Nusantara. Rangkaian acara ini sekaligus menjadi permulaan yang “menghidupkan kembali” aktivitas bajik intensif di Biara yang sempat melambat selama pandemi.
Secara umum, “ruwatan” berarti menghilangkan yang buruk agar hal-hal baik bisa berkembang. Di tanah Biara, ruwatan digelar untuk memperbaiki dan mempererat hubungan baik antar semua makhluk yang hidup di lahan Biara, baik yang tampak maupun tak tampak. Kita membawa persembahan dan meminta izin kepada para dewa, naga, dan sebagainya yang terlebih dulu mendiami lahan Biara untuk memulai berbagai aktivitas yang ditujukan demi kepentingan semua makhluk. Kita juga melimpahkan jasa kepada makhluk alam rendah yang begitu menderita hingga mengganggu kelangsungan berbagai aktivitas di Biara.
Selain itu, berbagai upacara berkaitan istadewata tertentu juga dilakukan sebagai upaya menghimpun kebajikan untuk mendatangkan kemakmuran yang amat dibutuhkan untuk mendukung berbagai aktivitas bajik Biara.
Upacara ruwatan Biara telah dipersiapkan dari lama, bahkan sejak 5–6 tahun lalu. Kepala Biara Y.M. Biksu Bhadra Ruci menggali naskah-naskah kuno warisan peradaban Buddhis Nusantara dan mencocokkannya dengan praktik dalam Buddhisme Tibet yang juga berasal dari Nusantara dan masih terjaga silsilahnya. Praktik-praktik ini dipilih berdasarkan riwayat kejadian di Biara yang dicatat sejak akuisisi lahan.
Salah satu persiapan khusus yang dilakukan adalah pengambilan air dari sumber air sakral seperti di Candi Sumberawan dan Singosari. Selain itu, ada pula persiapan konsekrasi rupang Je Rinpoche dan arca Panca Dhyani Buddha. Rupang dan arca dibersihkan. Mantra-mantra digulung untuk mengisi rupang, lalu rupang diisi dan dicat hingga siap dikonsekrasi. Persiapan ini dilakukan oleh Sangha monastik bersama-sama dengan peserta Punya Sancita, program pengumpulan kebajikan intensif di Biara yang baru dibuka kembali untuk pertama kalinya sejak pandemi.
Upacara yang berkaitan dengan para Buddha dan Istadewata perlu dirampungkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, rangkaian acara dimulai dengan Upacara Pemanggilan Kemakmuran pada tanggal 1-3 Agustus 2022.
“Kita bangkitkan motivasi bahwa kekayaan ini ‘kan untuk praktik Dharma, banyak hal yang harus diemban,” pesan Y.M. Biksu Bhadra Ruci ketika memberikan penjelasan mengenai rangkaian upacara ini.
Upacara pertama berkaitan dengan “Pelafalan Untuk Praktik Persembahan, Torma, Beserta Praktik Memanggil Kemakmuran Lima Istadewata—Arya Jambhala Putih Menunggangi Naga”. Arya Jambhala sendiri merupakan salah satu perwujudan Avalokitesvara yang dapat menghalau penghalang kemakmuran dalam praktik Dharma. Dalam upacara ini, peserta berpradaksina mengelilingi seluruh lahan Biara sambil meneriakkan “Datanglah kemakmuran". Tujuannya adalah untuk memanggil kekayaan dan hal-hal baik untuk datang serta hal baik yang sudah pergi dipanggil datang kembali.
Berikutnya adalah “Limpahan Hujan Kekayaan dari 4 Benua” kepada Hyang Betara Kubera & Arya Ganapati. Terakhir, rangkaian Upacara Pemanggilan Kemakmuran ditutup dengan Agnihotra Yajna kepada Jambhala dan Kubera.
Panca Dhyani Buddha terdiri atas 5 sosok Buddha: Akshobya, Vairocana, Ratnasambhava, Amitbha, dan Amogasiddhi. Kelima Dhyani Buddha ini melambangkan lima kualitas kebijaksanaan Buddha yang perlu kita capai. Di Biara, arca Panca Dhyani Buddha di Biara yang merupakan replika dari arca yang ada di Candi Borobudur mengelilingi Sasana Sri Prabha Gumelar dan menghadap rumah guru dan rumah tsa-tsa yang berisi 100.000 stupa umur panjang Guru Dagpo Rinpoche.
Adapun monumen Je Tsongkhapa yang dikonsekrasi merupakan monumen peringatan 600 tahun parinirvana Je Tsongkhapa yang didirikan sebagai persembahan Tri Dasawarsa Cipta, Karsa, dan Karya Guru Dagpo Rinpoche di Nusantara.
Je Tsongkhapa adalah sosok penting bagi Biara karena Beliaulah yang merintis Buddhisme tradisi Gelug yang kini diwarisi oleh Biara. Ajaran dan tradisi Buddhis Nusantara diwarisi oleh Guru Atisha dari Guru Suwarnadwipa Dharmakirti, dibawa ke Tibet, lalu diajarkan turun-temurun dan dijaga secara khusus dalam tradisi Gelug.
Praktik ruwatan dalam tradisi Buddhis Nusantara berasal dari berabad-abad yang lalu, sejak masa kerajaan-kerajaan Tantrik seperti Singosari dan Majapahit. Pada masa itu, hanya sedikit masyarakat yang mampu mempelajari Dharma secara mendalam. Para Acarya (guru praktisi Tantra) melakukan serangkaian upacara untuk menolong umat menghadapi berbagai permasalahan seperti wabah, bencana alam, kekeringan, dsb. Dengan realisasi dan kemahiran para Acarya beserta keyakinan dari sisi umat, beragam permasalahan tersebut bisa diatasi.
Y.M. Biksu Bhadra Ruci menerangkan secara rinci mengenai proses penyusunan upacara ruwatan ini, mulai dari pencarian dan penerjemahan naskah hingga mengidentifikasi siapa saja yang menghuni tanah Biara dan “sumber” berbagai halangan di Biara.
“Buta Kala bukan makhluk, dedemit, atau Lucifer. Itu elemen-elemen pikiran negatif,” terang Y.M. Biksu Bhadra Ruci ketika menerangkan apa yang akan “diruwat” dalam upacara ini.
“Itu ‘kan buruk, ditransformasi, dikirim ke Panca Dhyani Buddha. Sifat-sifat baiknya dibangkitkan, lalu dikirimkan ke masing-masing Dhyani Buddha.”
Dalam upacara ini, berbagai persembahan juga dihaturkan kepada semua makhluk-makhluk tak tampak yang sama-sama menghuni Biara, mulai dari Dewi Bumi, yaksha, gandharva, dan makhluk-makhluk lain yang tak kasatmata. Secara khusus, kita memohon izin kepada penguasa lahan yang telah terlebih dahulu menghuni Biara sejak waktu yang lama untuk “mengubah fungsi” lahan menjadi tempat aktivitas pembelajaran dan pengumpulan kebajikan.
Selama kita lahir dan mati berulang kali sejak waktu tak bermula, kita telah menghimpun karma yang tak terhingga banyaknya. Kita juga telah banyak menyakiti makhluk lain. Itu semua menumpuk menjadi utang karma yang bisa berbuah dalam bentuk berbagai macam halangan di kehidupan ini dan kehidupan mendatang. Selain itu, kita juga telah menerima banyak sekali kebaikan dari makhluk lain yang perlu kita balas jasanya.
Karma Biara berkaitan dengan karma banyak makhluk, terutama seluruh bangsa Indonesia, dan khususnya penghuni Biara dan keluarga besar KCI. Oleh karena itu, kita perlu bersama-sama melakukan pelimpahan jasa khusus untuk menuntaskan seluruh utang karma ini bukan hanya demi kesejahteraan kita sendiri, tapi juga demi kelancaran berbagai aktivitas di Biara. Melalui praktik ini, kita berdamai dengan seluruh penghuni Biara yang tak kasatmata, yang menderita di alam rendah, dan melimpahkan kebajikan agar mereka dapat terlahir kembali di alam bahagia.
Rangkaian upacara terakhir adalah yang secara khusus ditujukan kepada para Naga, lelembut, dan penguasa tanah yang mendiami Biara. Ketika melakukan pembangunan & pengolahan tanah Biara, kita menyinggung dan bahkan melukai mereka. Sebagai balasan, mereka pun bisa membalas dengan beragam gangguan berupa penyakit, bencana alam, kekeringan, dan sebagainya.
Hal khusus yang bisa kita lakukan adalah mengandalkan Begawan Nagesvararaja untuk membantu meredakan penderitaan mereka beserta segala kotoran batin yang menyebabkannya. Secara historis, praktik ini juga merupakan warisan dari Guru Atisha yang dulu berguru di Sriwijaya dan dilestarikan hingga sekarang.
Setelah itu, kepala Biara melakukan Agnihotra Yajna Shantika kepada Begawan Nagesvararaja dan berbagai ritual untuk melinggihkan Naga, yaitu menanam torma dan bumpa naga, serta mensakralkan dan mendudukkan naga di rumah naga.
—
Demikianlah rangkaian upacara besar yang berlangsung di Biara selama kurang lebih 11 hari. Seluruh upacara ini merupakan upaya untuk mendukung fungsi Biara sebagai tempat Dharma dapat diselami dan direalisasikan, juga untuk menghidupkan kembali warisan budaya peradaban Buddhis Nusantara dari masa lampau dan melestarikannya hingga berabad-abad berikutnya. Turut bermudita atas semua pihak yang telah mendukung keberlangsungan rangkaian upacara ini. Semoga Biara dapat menjadi suar Dharma yang menerangi Bumi Nusantara dan memandu seluruh penghuninya untuk keluar dari segala bentuk penderitaan.